Di banyak wilayah Indonesia, rasa malu mengadakan acara sederhana muncul bukan karena acaranya buruk, melainkan karena identitas sosial, gengsi budaya, dan tekanan lingkungan menjadi jauh lebih kuat daripada kepentingan keluarga yang sebenarnya.
Analisis Tekanan Sosial, Budaya Pamer, dan Standar Industri dalam Tradisi Acara Keluarga Indonesia
Bahkan keputusan makan apa, dekor pakai apa, undang berapa orang, bisa berubah jadi urusan harga diri yang rumit.
Tekanan Sosial yang Membentuk Norma
Bayangkan sebuah acara yang mestinya menjadi ruang syukur dan kebahagiaan, tiba-tiba berubah jadi panggung untuk dinilai.
Takut menjadi bahan omongan tetangga setelah acara
Banyak tuan rumah merasa lebih takut dengan komentar setelah acara selesai daripada rasa lelah mempersiapkannya.
- tempat dianggap terlalu kecil
- dekorasi terlihat biasa saja
- makanan tidak semewah acara sebelah
Komentar ringan seperti “kok sederhana banget?” bisa terdengar sepele, tetapi dampaknya menancap dalam. Banyak keluarga akhirnya memilih boros daripada menanggung rasa malu sosial.
Jika masyarakat berhenti mengukur martabat keluarga dari seberapa meriah acaranya, mungkin hidup menjadi lebih ringan. Namun kenyataannya, banyak orang merasa harus terlihat setara dengan lingkungan. Perbandingan horizontal — antara tetangga, saudara, atau teman sekampung — adalah sumber kecemasan terbesar.
Ketika satu keluarga mengadakan hajatan besar, standar sosial langsung naik tanpa perintah. Keluarga lain merasa perlu mengikuti, meskipun kondisi finansial berbeda jauh.
Budaya acara sebagai panggung sosial
Acara sederhana dianggap memalukan dalam budaya perbandingan sosial
- Di banyak tempat, orang tidak lagi membuat acara sesuai kebutuhannya. Mereka membuat acara sesuai apa yang *akan- dikatakan orang lain.
- Ketika dekor minim → dianggap tidak mampu.
- Ketika undangan sedikit → dianggap ada masalah keluarga.
- Ketika makanan sederhana → dianggap pelit.
Padahal tidak ada satu pun dari itu yang menentukan kualitas keluarga. Namun budaya komentar membuat semuanya terasa wajib.
Tekanan Keluarga Besar
Keputusan sebuah acara jarang murni milik pasangan yang menanggung biaya. Keluarga besar ikut mengatur:
- undangan ditambah
- dekor diperbesar
- makanan harus berlimpah
- kursi harus seragam
- venue jangan terlihat murah
Campur tangan keluarga besar dalam hajatan sederhana
Uniknya, suara mereka sering paling keras, tapi kontribusi biaya tidak selalu ikut. Banyak pasangan ingin membuat acara kecil yang realistis. Tetapi ketika mereka berkata ingin sederhana, muncul komentar:
- “masa acaranya segitu doang?”
- “nanti orang ngomong apa?”
- “malu keluarga besar nanti”
Maka mereka terpaksa mengikuti standar orang lain, bukan standar kemampuan sendiri. Beban finansial menjadi risiko yang ditanggung diam-diam.
Standar Industri: wedding, EO, dekor dan konsumsi visual
Perubahan besar pada budaya hajatan muncul ketika industri mulai memasarkan acara ideal versi komersial. Foto cantik, dekor penuh bunga, video sinematik, venue mewah. Lama-lama masyarakat percaya bahwa acara yang baik adalah acara yang mahal.
Media sosial menjadi katalis. Foto viral dianggap standar baru. Padahal dekor meriah bukan kebutuhan keluarga, melainkan strategi pasar. Industri harus tumbuh, maka acara harus selalu terlihat spektakuler.
Akhirnya:
- kursi biasa dianggap memalukan
- sound system sederhana dianggap salah
- venue kecil dianggap tidak layak
Acara sederhana dianggap “gagal tampil”. Padahal bertahun-tahun sebelumnya, acara keluarga tetap bermartabat tanpa atribut visual yang berlebihan.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa acara bukan hanya tentang pesta. Ia menyentuh aspek psikologis: harga diri. Banyak orang takut dicap tidak mampu, takut dipandang rendah, atau takut anaknya diomongkan. Ketakutan itu mengalahkan akal sehat, mengalahkan kondisi dompet, bahkan mengalahkan kenyamanan keluarga sendiri.
- Akhirnya banyak acara lahir dari kewajiban sosial, bukan kebahagiaan.
- Banyak keluarga berutang tanpa perlu.
- Banyak pasangan bertengkar karena biaya.
Banyak orang bekerja keras berbulan-bulan hanya untuk satu hari yang tidak selalu mereka nikmati.
Kenapa takut acara terlihat lebih kecil dari tetangga
Yang paling memengaruhi pola pikir bukan figur besar atau orang kaya. Tetapi orang yang setara secara sosial.
Tetangga, saudara, kawan sekampung.
Jika kondisi ekonomi mirip, maka standar dianggap setara. Ketika satu keluarga merayakan dengan besar, keluarga lain merasa perlu mengikuti. Bukan karena iri, tetapi karena ingin tetap berada di zona aman sosial.
Ini fenomena psikologi sosial yang kuat: takut berbeda lebih besar daripada takut boros.
Pada akhirnya, acara sederhana tidak pernah menjadi masalah. Yang menjadi persoalan adalah cara masyarakat menilai. Selama komentar lebih penting dari kenyamanan, acara sederhana akan terus dianggap berisiko. Padahal kebahagiaan bukan diukur dari dekorasi, jumlah undangan, atau ukuran venue.
Jika suatu hari nanti masyarakat berhenti menjadikan pesta sebagai tolak ukur martabat, mungkin orang bisa merayakan sesuatu dengan lebih jujur dan tenang. Kebebasan memilih ukuran acara seharusnya kembali kepada keluarga yang menjalani, bukan kepada lingkungan yang mengomentari.
Sederhana bukan dosa. Sederhana bukan aib. Sederhana hanya sulit karena masyarakat belum siap berhenti menilai.






