Sebelum banyak orang memahami apa itu sistem COD yang benar, sebagian pelanggan sudah membangun kesimpulan sendiri bahwa kurir adalah pihak yang harus menanggung akibat bila paket tidak sesuai. Aneh? Ya. Namun pola pikir ini terus berulang, bahkan semakin sering di era belanja online yang tumbuh cepat.
Padahal, jika aturan COD dibaca sejak awal, masalah seperti penolakan pembayaran atau paksaan membuka paket sebelum membayar tidak perlu terjadi.
Penyebab Pelanggan Sering Menyalahkan Kurir pada Sistem COD Indonesia
Di berbagai video viral, kurir sering dimarahi pelanggan karena paket diklaim tidak sesuai. Fenomena itu terjadi karena tiga hal besar:
- Bias kognitif seperti illusory superiority dan in-group vs out-group.
- Kebiasaan lama belanja di toko fisik yang sulit diubah dalam ekosistem e-commerce.
- Kurangnya pemahaman tentang aturan COD bayar dulu baru buka paket.
Hasilnya? Kurir yang seharusnya hanya mengantar barang justru menjadi target kemarahan.
Kebiasaan Lama yang Sulit Digeser & Pengaruhnya pada Penyalahgunaan COD
Uniknya, sebagian pelanggan masih memegang konsep belanja tradisional: lihat barang dulu, cocok–bayar, tidak cocok–tinggal pergi.
Masalah muncul ketika pola belanja lama itu dipaksakan ke sistem e-commerce yang memiliki prosedur berbeda.
Mereka menganggap:
- kurir = pegawai toko
- paket COD = barang yang wajib boleh dibuka sebelum pembayaran
Padahal tidak demikian.
Dalam transaksi online:
- Seller menentukan produk
- Marketplace mengatur sistem
- Kurir hanya mengantar
Tetapi pelanggan yang terbiasa belanja langsung sering lupa bahwa peran kurir tidak ada hubungannya dengan kualitas barang.
Psikologi Pelanggan COD: Mengapa Mereka Merasa Selalu Paling Benar?
Illusory superiority bias membuat seseorang merasa paling mengerti aturan, meskipun sebenarnya belum membacanya.
Maka terjadilah situasi seperti ini:
- merasa aturan COD sudah paham
- tidak membaca deskripsi produk
- menganggap marketplace, seller, dan kurir adalah satu sistem
- ketika barang datang dan tidak sesuai ekspektasi → kurir disalahkan
Bias ini diperparah dengan pola jalan pintas berpikir atau cognitive miser, yaitu kecenderungan otak untuk menghindari pemrosesan informasi yang rumit.
Dalam konteks belanja online, mayoritas pembeli:
- hanya melihat foto
- melihat harga
- melihat rating sekilas
- lalu langsung checkout karena ada fitur COD
Ketika barang tiba dan tidak sesuai?
Muncullah defensiveness: “Ini penipu!”, “Ini salah kurir!”, “Kenapa tidak boleh dibuka dulu?!”
Tekanan Mental Kurir Ekspedisi & Kerentanan Sistem COD
Banyak kurir mengaku stres. Bahkan ada yang sampai trauma karena sering dipaksa menerima kesalahan yang bukan milik mereka.
Jika pelanggan ngotot membuka paket sebelum membayar dan menolak pembayaran, kurir bisa terkena:
- penalti dari perusahaan
- potongan gaji
- evaluasi buruk
- bahkan ancaman PHK
Padahal yang memaksa membuka paket adalah pelanggan itu sendiri.
Inilah paradox terbesar COD:
sistem yang diciptakan untuk mempermudah pelanggan, justru sering disalahgunakan oleh pelanggan itu sendiri.
Ego Defensive Mechanism: Ketika Pelanggan Salah, Namun Tidak Mau Mengakuinya
Beberapa pelanggan membeli barang:
- tanpa membaca deskripsi
- tanpa memahami ukuran
- hanya karena murah
- atau karena sekadar ikut tren
Saat barang tidak sesuai, otak berusaha melindungi harga diri.
Alih-alih mengakui kesalahan sendiri, mereka mencari “kambing hitam”.
Dan siapa yang ada di depan mata?
Kurir.
Inilah alasan mengapa banyak video viral memperlihatkan pelanggan marah-marah meskipun kurir sudah menjelaskan aturan COD berkali-kali.
Dinamika In-Group vs Out-Group: Kurir Dianggap Musuh
Dalam psikologi sosial, manusia sering membagi dunia menjadi dua kelompok:
- kita (in-group)
- mereka (out-group)
Ketika pelanggan merasa dirugikan, meskipun kesalahan ada di pihak mereka sendiri, kurir dianggap sebagai “pihak luar” yang harus bertanggung jawab.
Seller tidak ada di depan mata. Marketplace tidak kasat mata. Maka kurir menjadi satu-satunya target yang terlihat secara fisik.
Itulah sebabnya kurir sering mendapat kemarahan meski mereka tidak memiliki kontrol apa pun terhadap isi paket.
Salah Kaprah Besar: Mengira COD Sama dengan Belanja di Toko
Banyak yang masih salah paham bahwa COD = “buka dulu baru bayar”.
Padahal sistem COD sebenarnya dibuat untuk:
- mencegah penipuan pelanggan kepada seller
- menjaga keamanan transaksi
- meminimalkan kerugian seller akibat pembatalan sepihak
Jika paket boleh dibuka sebelum dibayar, maka:
- banyak yang akan menolak bayar setelah melihat barang
- seller bangkrut
- marketplace kewalahan
- logistik rusak sistemnya
Aturan COD dibuat untuk melindungi semua pihak, namun yang sering disalahkan justru kurir.
Faktor sosial, ekonomi, dan budaya berbaur menjadi satu.
Belanja online yang berkembang sangat cepat tidak dibarengi edukasi yang merata tentang sistem marketplace dan peran kurir.
Di sisi lain, tingginya ekspektasi pelanggan terhadap kecepatan dan kepraktisan membuat mereka mudah marah bila ada sedikit ketidakcocokan.
Kurangnya Empati dalam Budaya Digital Konsumen Indonesia
Media sosial membuat banyak orang terbiasa mengekspresikan ketidakpuasan secara instan.
Kadang, daripada introspeksi, mereka memilih memviralkan kurir agar mendapat validasi online.
Dan kurir menjadi korban interaksi sosial yang timpang:
yang mengantar barang diperlakukan seolah-olah penipu.
Edukasi Pelanggan & Pembenahan Sistem COD Sangat Dibutuhkan
Fenomena penyalahgunaan COD ini lebih dari sekadar miskomunikasi.
Ini adalah gambaran nyata bias kognitif, kurangnya edukasi, dan lemahnya empati dalam transaksi digital.
Jika konsumen memahami:
- peran kurir yang sebenarnya,
- aturan COD bayar dulu baru buka,
- perbedaan belanja online dan toko fisik,
maka beban kurir akan berkurang, dan sistem e-commerce Indonesia dapat berjalan lebih sehat.






