Fenomena Pungli di Tempat Wisata Indonesia & Analisis Psikologi Sosial

Opini16 Views

Praktik pungutan liar seperti sudah menjadi ritme tak resmi dalam beberapa destinasi. Padahal sektor pariwisata berpotensi besar mengangkat ekonomi lokal, tetapi realitasnya tidak sesederhana itu. Fenomena ini bukan sekadar soal uang kecil yang hilang, melainkan rantai perilaku sosial yang terus berulang dari waktu ke waktu.

Perilaku Opportunistic Behaviour di Kawasan Wisata Indonesia

Anehnya, mentalitas oportunistik sering muncul bukan karena seseorang merasa jahat, tetapi karena ada kesempatan. Saat wisatawan baru datang, beberapa oknum melihat celah: orang dari luar biasanya lebih memilih menghindari konflik. Dalam kondisi itu, muncul tindakan seperti meminta biaya masuk tanpa dasar, mematok tarif parkir ilegal, hingga menawarkan jasa palsu secara memaksa.

Ketika tindakan tersebut berhasil dilakukan sekali, pola perilaku berulang. Di sinilah sifat opportunistic behaviour bekerja—mengambil keuntungan jangka pendek tanpa mempertimbangkan dampak panjang terhadap ekosistem wisata.

Kesenjangan Ekonomi & Efek Relative Deprivation dalam Pungutan Liar

Menariknya lagi, persoalan ini punya akar yang dalam pada kesenjangan ekonomi. Banyak masyarakat di sekitar objek wisata tidak menerima manfaat ekonomi secara langsung. Investor atau pengelola sering kali lebih dominan menikmati profit, sementara warga lokal tetap hidup dalam pendapatan yang tidak stabil.

Dalam psikologi sosial, kondisi ini disebut relative deprivation. Individu merasa tertinggal atau tidak puas ketika melihat orang lain hidup lebih nyaman. Wisatawan yang datang dengan pakaian rapi, membawa kamera, dan menghabiskan waktu santai sering memicu rasa “mengapa hidup kami tidak seperti itu?”.

Efek emosional seperti ini dapat mendorong sebagian orang untuk menghalalkan pungutan tambahan demi merasa “ikut mendapat bagian”. Kombinasi antara kebutuhan ekonomi dan rasa ketidakadilan menciptakan lahan subur bagi pungli.

Normalisasi Pungli dalam Pariwisata Lokal & Dampak Social Desensitization

Seiring berjalannya waktu, ada masyarakat yang tidak lagi melihat pungli sebagai sesuatu yang salah. Ini merupakan contoh jelas dari desensitization effect—rasa salah yang awalnya ada perlahan hilang karena perilaku tersebut terus-menerus dilakukan dan dilihat oleh banyak orang.

Pertama kali terkena pungli, wisatawan mungkin marah. Tetapi setelah berulang kali mengalami hal serupa di tempat yang berbeda, muncul pemikiran “mungkin memang sudah budayanya”. Di sisi lain, pelaku pungli pun makin berani karena melihat publik tidak lagi protes.

Lama-kelamaan, tindakan yang awalnya salah berubah menjadi rutinitas. Inilah titik paling berbahaya dari normalisasi sosial.

Fenomena Bandwagon Effect dalam Perilaku Pungli di Masa Liburan

Ketika satu oknum berhasil menarik uang secara ilegal, dalam waktu singkat lainnya ikut meniru. Fenomena ini disebut bandwagon effect, yaitu kecenderungan mengikuti perilaku yang dilakukan banyak orang tanpa memikirkan benar atau salah.

Contohnya:

  • Awalnya hanya satu orang meminta sumbangan wajib di pintu masuk area religi.
  • Tidak lama kemudian muncul kelompok lain yang melakukan hal serupa.
  • Karena tidak ada tindakan tegas, jumlahnya bertambah.
  • Muncul “sistem tidak resmi” seperti zona pungli, jatah wilayah, hingga koordinasi antar oknum.

Lingkaran ini terus berputar karena adanya wisatawan yang tetap membayar, baik karena tidak tahu aturan maupun enggan berdebat.

Low Deterrence Effect

Dalam banyak kasus, pelaku pungli hanya menerima teguran ringan atau denda kecil. Bahkan ada yang selesai dengan damai di tempat. Ketika hukuman tidak menimbulkan efek jera, kriminalitas kecil ini terus terjadi.

Dalam psikologi kriminal, kondisi ini disebut low deterrence effect. Individu akan terus melakukan tindakan salah jika merasa risiko tertangkap atau dihukum sangat kecil.

Beberapa laporan dari satuan tugas Saber Pungli di Jawa Barat menunjukkan bahwa kasus pungli ditemukan di Kabupaten Bogor, Kota Bandung, dan wilayah wisata lainnya. Namun di lapangan, praktiknya sulit dihentikan karena celah hukum masih lebar.

Dampak Negatif Pungli terhadap Reputasi Pariwisata Indonesia

Jika fenomena ini tidak dihentikan, kerugiannya jauh lebih besar daripada sekadar tarif parkir yang membengkak. Dampaknya dapat berupa:

  • Wisatawan luar negeri enggan datang kembali.
  • Ekonomi lokal yang seharusnya berkembang malah stagnan.
  • Reputasi destinasi rusak sehingga kalah bersaing dengan negara tetangga.
  • Peluang UMKM lokal menurun karena wisatawan merasa tidak aman.

Dalam jangka panjang, pungli merusak citra pariwisata Indonesia yang seharusnya bisa menjadi kebanggaan nasional.

Akar Psikologis Praktik Pungutan Liar & Lingkaran Perilaku Sosial

Jika ditarik lebih dalam, pungli di tempat wisata bukan cuma soal ekonomi, tetapi perpaduan antara:

  • mentalitas oportunistik,
  • efek ketidakadilan sosial,
  • pengaruh lingkungan sekitar,
  • lemahnya law enforcement,
  • serta normalisasi budaya dari generasi ke generasi.

Semua faktor ini saling menguatkan hingga membentuk sistem yang berjalan “dengan sendirinya”.

Pengelolaan Wisata Responsif & Pemberdayaan Masyarakat Lokal

Untuk memutus rantai pungli, ada beberapa langkah yang realistis:

  1. Pemberdayaan masyarakat secara resmi, seperti menjadi pemandu wisata bersertifikat.
  2. Peningkatan literasi aturan wisata, sehingga pengunjung tahu mana pungutan resmi, mana ilegal.
  3. Regulasi tegas dan hukuman nyata agar oknum tidak lagi merasa aman.
  4. Transparansi biaya wisata, termasuk tarif parkir, tiket masuk, dan kontribusi lingkungan.
  5. Kolaborasi pemerintah–komunitas–pengelola wisata agar distribusi keuntungan lebih merata.

Jika semua pihak bergerak, industri pariwisata Indonesia dapat kembali kuat dan lebih sehat.

Refleksi atas Mentalitas & Sistem yang Perlu Dibenahi

Fenomena pungli bukan sekadar persoalan uang receh yang berpindah tangan. Ini cermin dari kondisi sosial, ekonomi, dan psikologis yang kompleks. Jika praktik ini terus didiamkan, efek domino akan semakin besar: wisatawan enggan datang, reputasi negara menurun, dan masyarakat lokal tetap tertinggal.

Kesadaran bersama—baik wisatawan, masyarakat lokal, maupun penegak kebijakan—menjadi kunci untuk menghentikan lingkaran ini.

Jika dibangun dengan cara yang benar, destinasi wisata di Indonesia bisa menjadi tempat tanpa intimidasi, tanpa pungli, dan benar-benar aman untuk siapa pun yang berkunjung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *