Ketakutan menikah ternyata bukan semata soal cinta, tapi soal persepsi yang terus dibentuk oleh media sosial. Standar yang tidak realistis, video pernikahan mewah, cerita rumah tangga tragis, hingga glorifikasi gaya hidup mandiri menciptakan realitas buatan yang menggeser cara pandang generasi sekarang.
Baru setelah memahami gambaran besar itu, semua potongan masalahnya terlihat lebih jelas.
Standar Pernikahan Tinggi di Media Sosial
Sebelum media sosial mendominasi kehidupan, pernikahan hanya dipengaruhi obrolan keluarga, pengalaman pribadi, atau nasihat orang yang sudah berumah tangga. Sekarang justru ribuan video di FYP menjadi barometer baru.
- resepsi yang estetik
- pasangan yang terlihat sempurna
- rumah mewah setelah menikah
- narasi “hidup ideal”
TikTok menciptakan dua dunia sekaligus: pesta pernikahan fantastis dan kisah gelap tentang rumah tangga toxic. Dua kutub ini muncul bergantian, membuat persepsi semakin kabur. Setiap kali menonton satu video tentang kemewahan, algoritma langsung memunculkan puluhan video serupa. Akhirnya, banyak orang mulai merasa “pernikahan normal” harus berada di level tertentu.
Fenomena ini selaras dengan Social Comparison Theory, di mana manusia tidak bisa berhenti membandingkan diri dengan orang lain—dan kini perbandingannya tidak lagi terbatas pada tetangga atau teman, tetapi influencer dan pasangan selebritas.
Distorsi FYP dan Ekspektasi Tidak Realistis: Pernikahan Harus Mewah atau Tidak Usah Sama Sekali
Masalah fundamentalnya bukan video itu sendiri, tetapi cara otak memproses informasi yang terus berulang. Sorotan terbaik dari kehidupan orang lain menciptakan ilusi:
“kalau tidak seindah itu, berarti gagal.”
Padahal:
- di balik pesta mewah mungkin ada cicilan
- di balik foto harmonis mungkin ada konflik panjang
- di balik honeymoon mahal mungkin ada tekanan sosial
Karena hanya melihat highlight, banyak orang menganggap pernikahan itu rumit, mahal, dan penuh tuntutan. Muncullah mindset:
“Kalau tidak mampu memenuhi standar FYP, lebih baik tidak menikah sama sekali.”
Cognitive Overload & Fenomena Kebanjiran Informasi Pernikahan TikTok
Di era sebelum TikTok, nasihat datang dari satu atau dua sumber. Sekarang ribuan perspektif membombardir otak setiap hari. Akibatnya muncul Cognitive Overload, kondisi ketika seseorang tidak sanggup mengambil keputusan karena terlalu banyak informasi bertentangan.
Di TikTok, ada yang bilang:
- menikah itu indah
- menikah itu penyelamat
- menikah itu sumber sengsara
- menikah bikin hidup hancur
Ketika semua input itu diterima dalam satu waktu, keputusan menjadi semakin sulit. Semakin lama menonton, semakin kabur mana yang harus dipercaya. Akhirnya bukan ketidaksiapan yang menjadi masalah, tetapi kebingungan.
Reinforcement Effect: Konten Pernikahan Toxic Bikin Pikiran Semakin Takut Melangkah
Satu kali menonton video tentang perceraian, algoritma akan menyodorkan puluhan video tentang:
- pasangan selingkuh
- kekerasan dalam rumah tangga
- drama finansial
- penyesalan menikah
Semakin sering melihatnya, semakin kuat persepsi bahwa pernikahan adalah sumber masalah. Padahal:
- cerita buruk lebih cepat viral
- cerita bahagia jarang menembus FYP
- pasangan harmonis lebih memilih tidak mengumbar kehidupan pribadi
Akhirnya seseorang hanya terpapar sisi negatif, bukan gambaran yang utuh. Ketakutan pun tumbuh lebih cepat daripada kebijaksanaan.
Glorifikasi Hidup Mandiri & Fenomena Hyper-Independence di Generasi Modern
Ada alasan lain yang cukup kuat: hyper independence.
Banyak orang tumbuh dengan gaya hidup independen:
- punya penghasilan sendiri
- terbiasa mengambil keputusan seorang diri
- nyaman tinggal sendiri
- fokus pada karier, kebebasan, dan waktu pribadi
Ketika harus berbagi ruang, berbagi waktu, atau berkompromi dengan pasangan, sebagian merasa seperti kehilangan kendali hidup. Media sosial memperkuat pola pikir ini dengan konten:
- solo traveling
- beli rumah tanpa pasangan
- hidup mandiri dan bebas
- narasi “tidak butuh siapa pun”
Independensi sebenarnya baik, tetapi jika berubah menjadi isolasi emosional, hubungan menjadi sulit dijalani. Tanpa disadari, semakin mandiri seseorang, semakin besar kecenderungan takut kehilangan kontrol setelah menikah.
Trauma Masa Kecil
Banyak orang yang ragu menikah bukan karena standar TikTok, tetapi karena luka masa kecil.
Mereka tumbuh di rumah yang penuh pertengkaran, kekerasan, atau perceraian. Karena terbiasa melihat konflik, muncul persepsi:
- cinta hanya berujung sakit
- pernikahan berarti pertengkaran
- komitmen berarti pengorbanan satu pihak
TikTok memperburuk situasi dengan konten bercerita tentang pasangan toksik, sehingga trauma masa lalu semakin terpancing.
Ada dua pola sikap yang biasanya muncul:
- Hindari hubungan serius, karena takut mengulang masa lalu.
- Masuk ke hubungan toxic, karena menganggap dinamika itu normal.
Trauma tidak selalu disadari, tetapi ia sering menjadi sutradara yang diam-diam mengarahkan keputusan hidup.
Pernikahan, Ketakutan, dan Realitas yang Tidak Terlihat di Layar
Jika ditarik kesimpulan dari tengah, bukan dari ujung: dunia digital menciptakan persepsi yang tidak selalu selaras dengan kenyataan. Pernikahan tidak sehitam atau seputih yang ditampilkan TikTok. Tidak semua hubungan buruk, dan tidak semua hubungan sempurna. Yang jarang viral justru hubungan yang berjalan dengan komitmen biasa saja—stabil, dewasa, dan tanpa drama.
Generasi sekarang bukan tidak mau menikah. Mereka hanya hidup di dunia yang:
- kebanjiran informasi,
- dibombardir standar tidak realistis,
- dipengaruhi trauma,
- dan terus diperkuat oleh algoritma.
Pada akhirnya, setiap perjalanan akan berbeda. Yang paling penting bukan standar TikTok, bukan cerita orang lain, tetapi kesiapan emosional, komunikasi, dan kemampuan berproses bersama pasangan.






