Online Disinhibition, Pendidikan Hafalan, dan Budaya Anti Kritik di Indonesia

Edukasi22 Views

Banyak masyarakat menganggap perbedaan pendapat sebagai ancaman, bukan peluang belajar. Padahal dalam konteks critical thinking dan perkembangan sosial, yang namanya diskusi logis seharusnya jadi fondasi bukan justru hal yang menakutkan.

Fenomena digital, terutama yang terkait online disinhibition effect di media sosial Indonesia, hanya memperparah situasi yang sebenarnya sudah terbentuk sejak lama.

Akar persoalan ini jauh sebelum TikTok, Twitter, dan kolom komentar mulai jadi arena gladiator opini.

Budaya Diam Sejak Kecil & Dampaknya Pada Mentalitas Dewasa

Pernah melihat anak kecil tanya sesuatu tapi justru diminta diam? Atau ketika seorang anak ingin tahu alasan dari sebuah aturan, reaksinya malah dianggap tidak sopan?

Kebiasaan semacam ini membentuk pola bahwa bertanya itu berbahaya, dan berpendapat itu tidak perlu. Akhirnya ketika dewasa, muncul generasi yang defensif, sensitif, dan alergi kritik karena sejak kecil tidak dibiasakan berdialog melainkan diperintah.

Maka tidak mengherankan jika realitas budaya diskusi masyarakat Indonesia cenderung emosional, bukan analitis.

Pernah melihat debat di kolom komentar media sosial berubah jadi adu marah, bukan pertukaran gagasan? Banyak yang lebih fokus menjatuhkan lawan daripada mencari solusi atau pemahaman baru.

Fenomena ini dikenal sebagai zero-sum thinking—di mana seseorang menganggap diskusi sebagai ajang menang atau kalah, bukan proses pembelajaran.

Jika kalah, berarti harga diri runtuh. Kalau salah, berarti direndahkan. Maka daripada menerima data, banyak orang lebih memilih marah.

Pendidikan Hafalan dan Minimnya Critical Thinking di Sekolah

Dari SD sampai kuliah, mayoritas sistem pembelajaran berorientasi pada hafalan, bukan pemahaman. Ujian mengukur ingatan, bukan logika. Guru menyampaikan, murid menerima. Bertanya terlalu banyak dianggap mengganggu ritme kelas, bukan tanda ingin memahami lebih dalam.

Tidak heran banyak orang lupa pelajaran setelah ujian selesai—karena tidak pernah benar-benar mengerti esensinya.

Ketika pengetahuan tidak ditanamkan melalui analisis, maka yang tumbuh adalah pola pikir pasif dan tak berani mempertanyakan sesuatu yang dianggap “otoritas”.

Online Disinhibition Effect: Kenapa Orang Lebih Gampang Marah di Internet?

Fenomena di mana seseorang lebih berani berkata kasar di internet dibanding dunia nyata bukan sekadar soal keberanian, tapi karena anonimitas, jarak emosional, tidak melihat ekspresi lawan bicara, minim konsekuensi langsung.

Ketika seseorang tidak perlu bertanggung jawab atas kata-katanya, empati makin rendah, sementara agresi justru meningkat. Walaupun dalam kehidupan nyata orang ini mungkin ramah dan pendiam.

Media sosial jadi tempat di mana emosi meledak lebih cepat daripada logika diproses.

Kenapa Banyak Orang Merasa Selalu Paling Benar?

Terlalu lama hidup dengan pola otoritas membuat sebagian orang percaya bahwa pendapat pribadi lebih penting daripada fakta. Ketika logika bertemu ego, yang menang hampir selalu ego.

Karena bagi orang yang tidak terbiasa berdiskusi sehat, menerima koreksi terasa seperti serangan, bukan kesempatan belajar.

Pada akhirnya pertanyaan pentingnya bukan:

“Siapa yang pintar?”

tapi

“Siapa yang mau belajar?”

Jika masyarakat masih melihat perbedaan pandangan sebagai ancaman, maka dialog publik, literasi digital, dan perkembangan pemikiran kritis akan selalu berjalan lambat.

Apakah generasi masa depan akan tetap terjebak dalam pola ini, atau mulai berani membuka ruang untuk berpikir logis, berdiskusi, dan menerima perbedaan pendapat tanpa merasa diserang?

Mungkin perubahan itu dimulai dari satu hal sederhana:
Belajar mendengar sebelum membalas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *