Lucunya hidup modern itu begini: semakin keras seseorang ingin terlihat kaya, semakin jauh sebenarnya ia dari kemapanan. Aneh tapi nyata — banyak orang yang penghasilannya pas-pasan justru merasa wajib tampil mewah. Dari pakaian bermerek, pesta megah, sampai gadget terbaru, semua jadi simbol “naik kelas”. Tapi di balik semua itu, ada kisah sosial yang jauh lebih rumit daripada sekadar keinginan untuk bergaya.
Simbol Status: Ketika Gengsi Lebih Mahal dari Nasi
Di banyak lingkungan kelas bawah, terutama perkotaan, muncul tekanan sosial yang besar: harus terlihat berhasil. Kalau tetangga ganti motor, rasanya harus ikut ganti juga. Kalau saudara bikin hajatan besar, muncul rasa malu kalau acara sendiri sederhana. Padahal secara ekonomi, kemampuan tidak mendukung. Tapi gengsi sering lebih kuat dari logika.
Fenomena ini bisa dijelaskan lewat konsep “social signaling” — di mana seseorang menggunakan barang dan gaya hidup sebagai sinyal status sosial. Tujuannya bukan sekadar pamer, tapi agar dihormati dan tidak diremehkan. Ironinya, sinyal ini butuh biaya mahal dan efeknya cuma sementara. Begitu uang habis, status itu lenyap, tapi cicilan masih jalan.
Hedonic Adaptation: Kenapa Rasa Puas Cepat Hilang
Ada hal menarik yang jarang disadari: manusia cepat sekali beradaptasi dengan kemewahan. Begitu sudah terbiasa nongkrong di kafe mahal, makan di warung biasa terasa “nggak pantas”. Inilah yang disebut hedonic adaptation — kepuasan yang cepat menguap.
Bagi orang miskin, ini jadi jebakan psikologis. Setelah membeli barang mewah sekali, standar langsung naik. Barang lama terasa membosankan, muncul dorongan beli lagi yang lebih mahal. Akibatnya, hidup jadi perlombaan tanpa garis finis, di mana uang terus keluar tapi kebahagiaan tidak pernah penuh.
Identitas Pinjaman: Ketika Status Jadi Ilusi
Banyak orang akhirnya masuk ke pola hidup yang disebut vicarious identity — meminjam identitas kelas atas lewat simbol-simbol eksternal. Misalnya pakai sepatu bermerek KW, nongkrong di tempat elit, atau posting gaya hidup “sukses” di media sosial.
Dalam jangka pendek, ini memang memberi rasa percaya diri. Tapi jangka panjangnya mematikan finansial. Karena untuk mempertahankan identitas pinjaman itu, seseorang harus terus mengeluarkan uang, bahkan berutang. Ironisnya, mereka hanya membeli rasa “setara” yang sebenarnya palsu.
Distinction dan Ilusi Kesetaraan
Konsep distinction dalam sosiologi menjelaskan bahwa status sosial seringkali dibentuk lewat perbedaan simbolik, bukan kemampuan nyata. Orang miskin merasa perlu terlihat modern agar dianggap layak. Maka muncullah fenomena “status semu” — tampak makmur di luar, tapi rapuh di dalam.
Masalahnya, status semu ini kini diperkuat oleh media sosial. Setiap hari orang disuguhi kehidupan orang kaya yang tampak sempurna. Akibatnya, standar sosial masyarakat ikut naik. Yang dulu dianggap cukup, kini terasa kurang. Rumah sederhana dianggap gagal, baju polos dianggap memalukan.
Budaya Gengsi dan Tekanan Kolektif
Indonesia punya satu karakter sosial yang menarik: harga diri sering diukur dari tampilan luar. Dalam budaya seperti ini, menolak gengsi bisa dianggap aneh. Ketika satu orang di kampung beli ponsel baru, tetangganya ikut-ikutan. Ketika satu keluarga bikin pesta besar, yang lain merasa wajib menandingi.
Tekanan kolektif seperti ini membuat orang miskin sulit keluar dari jeratan konsumsi status. Mereka bukan hanya melawan keinginan pribadi, tapi juga ekspektasi sosial yang memaksa. Akhirnya, hidup jadi perlombaan menjaga citra, bukan memperbaiki kenyataan.
Kehidupan di Era Media Sosial: Naik Kelas atau Naik Ilusi?
Media sosial memperluas arena pembandingan. Kalau dulu cukup iri pada tetangga, kini bisa iri pada influencer di kota lain. Setiap hari mata disuguhi rumah mewah, mobil baru, dan liburan mahal. Bagi masyarakat dengan ekonomi terbatas, paparan ini seperti cambuk mental.
Muncul fenomena aspirational pressure — tekanan untuk terlihat sedang naik kelas. Mereka ingin diakui sebagai bagian dari masyarakat modern. Tapi cara yang diambil justru konsumsi, bukan produktivitas. Cicilan menumpuk, tabungan lenyap, sementara status sosial hanya bertahan di layar ponsel.
Ketika Rasa Cukup Hilang dari Kamus Hidup
Masalah utama bukan semata kurangnya pendapatan, tapi hilangnya rasa cukup. Ketika standar kebahagiaan ditentukan oleh simbol-simbol eksternal, hidup jadi kompetisi yang tidak pernah selesai.
Selama status sosial masih diukur dari apa yang terlihat, bukan apa yang dicapai, orang miskin akan terus terjebak dalam lingkaran konsumsi tanpa arah. Mereka bekerja keras, tapi hasilnya lenyap demi mempertahankan ilusi yang hanya diakui sebentar.
Keberhasilan Sejati Tak Butuh Penampilan
Kaya bukan soal apa yang dipakai, tapi soal kemampuan membangun kehidupan yang kokoh. Orang miskin makin sulit lepas dari jeratan kemiskinan karena energi habis untuk menjaga penampilan, bukan memperkuat pondasi.
Selama masyarakat masih memberi penghargaan pada yang tampak, bukan yang nyata, selama itu pula ilusi kesetaraan akan terus hidup. Dan mungkin, saat seseorang berani hidup sederhana di tengah budaya pamer, justru di situlah awal dari kebebasan finansial yang sesungguhnya.






