Fenomena DJ Takbiran: Antara Tradisi, Hedonisme, dan Hilangnya Makna Sakral

Edukasi29 Views

Masalahnya bukan cuma di volume, tapi di hilangnya kesadaran akan makna. Ketika takbir — simbol kemenangan spiritual — jadi bahan konten viral atau remix TikTok, maka yang terganggu bukan cuma suasana, tapi juga fondasi batin masyarakat itu sendiri.

DJ Takbiran Viral: Apakah Ini Bagian dari Kemajuan Budaya?

Fenomena takbiran dengan remix beat EDM bukan cuma ada di kota besar. Kampung-kampung mulai ikutan.

Awalnya “unik”, lama-lama dianggap “biasa”.
Lalu jadi “wajar”.

Dulu orang bakal kaget dengar lafaz takbir disambung efek suara DJ, sekarang justru ditunggu-tunggu karena seru dan bisa rame-rame di konten.

Tapi siapa yang pernah nanya: apa gak ada yang terasa janggal?

Dulu, takbiran itu syahdu.

Bukan cuma lantunan suara yang bergema dari masjid ke masjid, tapi juga getaran batin dari orang-orang yang menamatkan sebulan penuh ibadah.

Takbir bukan sekadar tradisi malam lebaran, tapi glorifikasi spiritual — penegasan bahwa Tuhan adalah yang Maha Besar, setelah manusia belajar menahan diri.

Tapi sekarang?

Banyak yang mengingat malam takbiran bukan karena getaran hatinya, tapi karena kerasnya dentuman bass speaker keliling gang.

Desakralisasi Takbir: Simbol Agama Jadi Hiburan?

Kita lagi ngalamin apa yang disebut desakralisasi — pelucutan makna dari simbol suci.

  • Takbir sekarang bisa jadi backsound TikTok.
  • Masjid digeser sama panggung sound system.
  • Dan orang-orang nonton bukan buat tafakur, tapi buat konten.

Banyak yang bilang ini cuma ekspresi. Ketika suara-suara yang harusnya menyentuh hati justru dipakai buat naikkan views, maka yang hilang bukan cuma suasana — tapi makna.

Hedonisme dan FOMO: Dua Motor di Balik DJ Takbiran

Fenomena DJ takbiran tumbuh subur di tengah budaya hedonisme digital.

  • Hiburan adalah kebutuhan pokok baru.
  • Yang penting seru, rame, dan bisa dibagikan.
  • Refleksi spiritual? Itu kalah pamor.

Malam yang dulu diisi tafakur kini berganti dengan konvoi motor, lampu strobo, dan beat 128 BPM.

  • Banyak orang takut sendiri, takut sunyi.
  • Jadi pilihan paling gampang: keramaian.
  • Dan takbiran, sayangnya, jadi salah satu korbannya.

Literasi Religius yang Dangkal

Orang Indonesia banyak yang rajin ke masjid, tapi nggak banyak yang ngerti kenapa ibadah itu dilakukan.

Pendidikan agama di sekolah sering fokus di hafalan, bukan pemahaman. Anak-anak bisa hafal doa, tapi gak ngerti makna. Akibatnya? Saat dewasa, mereka gampang nyampurin simbol sakral dengan budaya pop.

Takbir digabung musik?

“Ya wajar aja, biar rame.”

Bagi mereka, itu cuma tradisi tahunan. Bukan perayaan spiritual.

DJ Takbiran dan Disonansi Kognitif: Tahu Salah Tapi Tetap Dilakuin

Anehnya, gak sedikit yang sebenarnya sadar ada yang gak beres. Tapi tetap ikut. Kenapa? Jawabannya ada di disonansi kognitif: kondisi di mana keyakinan bertentangan dengan tindakan.

Misalnya:

  • Percaya bahwa takbir itu suci.
  • Lalu dibenarkan dengan alasan, “Kan niatnya tetap takbiran.”

Ini adalah dilema yang banyak orang alami — dan sayangnya, dilema ini dibenarkan karena semua orang juga begitu. Ketika lingkungan mendukung, rasa salahnya hilang.

Normalisasi Penyimpangan: Ketika yang Nyeleneh Jadi Budaya

Dulu aneh, sekarang tren. Dulu salah, sekarang dibiarkan. Inilah yang disebut normalisasi penyimpangan. Sekali dua kali lihat DJ takbiran, mungkin heran. Tapi setelah sering lewat di feed TikTok, reels Instagram, dan jalanan malam lebaran, rasa kagetnya hilang. Lama-lama dianggap lucu, seru, bahkan kreatif. Dan yang lebih menyedihkan — orang yang coba mengingatkan malah dianggap kolot, sok suci, bahkan musuh kebebasan.

Takbiran bukan sekadar rutinitas malam lebaran. Tapi soal geserannya nilai masyarakat. Kalau hal paling sakral aja udah bisa dijadikan bahan viral, maka akan makin sulit buat masyarakat punya pondasi spiritual yang kuat.

Gak semua perubahan adalah kemajuan. Dan gak semua yang rame itu pantas dirayakan. Kalau malam takbiran yang dulu penuh makna sekarang jadi panggung hiburan, maka yang kita butuhkan bukan cuma speaker yang lebih kecil… Tapi kesadaran yang lebih besar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *