Fenomena lowongan kerja palsu bukan sekadar soal uang yang hilang—lebih dalam dari itu, ini tentang kepercayaan yang dihancurkan, harapan yang dipermainkan, dan sistem rekrutmen Indonesia yang masih banyak celahnya. Pelakunya tahu betul: selama banyak orang sedang terjepit ekonomi, siapapun bisa dibohongi dengan kemasan yang meyakinkan. Dan sayangnya, itu terus terjadi… tiap hari.
Kenapa Banyak Orang Masih Tertipu Lowongan Kerja Fiktif?
Satu alasan paling mendasar: kepepet. Buat banyak orang Indonesia yang udah terlalu lama nganggur, lowongan kerja tanpa pengalaman, proses cepat, dan janji bisa langsung kerja adalah ‘lampu hijau’ harapan. Gak peduli asal-usul perusahaannya jelas atau enggak, selama masih ada peluang, mereka coba ambil. Tapi di sinilah jebakan manisnya dimulai.
Modusnya makin rapi. Mereka bikin kantor sewaan, cetak kartu nama, bikin sistem interview yang kelihatan profesional. Di ujung, minta “biaya administrasi” atau “uang seragam”. Setelah dibayar? Hilang. Atau prosesnya macet entah kenapa.
Sistem rekrutmen Indonesia seakan terlalu ‘ramah’ buat pelaku penipuan.
Yang jadi korban bukan yang iseng cari kerja, tapi justru yang benar-benar butuh penghasilan. Orang yang tiap hari keliling bawa map isi fotokopian ijazah, orang yang tiap pagi buka Facebook buat cari lowongan, orang yang masih semangat meski udah puluhan kali ditolak.
Banyak yang belum tahu kalau nama PT bisa dicek legalitasnya. Gak semua ngerti cara membedakan rekrutmen resmi dan palsu. Mereka cuma tahu: datang, bawa dokumen, dan semoga rejeki lancar.
Platform Online Tanpa Filter: Ladang Subur Penipuan Berkedok Lowongan
Lowongan kerja sekarang bisa ditemui di mana aja: Facebook, TikTok, Telegram, bahkan WhatsApp.
Tapi… siapa yang verifikasi semua itu?
Jawabannya sering kali: tidak ada.
Satu postingan fiktif aja bisa menjerat ratusan orang. Apalagi grup Facebook atau aplikasi chat yang tanpa sistem moderasi. Semua orang bisa pasang iklan kerja, dan semua orang bisa tertipu kalau nggak hati-hati.
Bukan Cuma Duit yang Hilang, Tapi Mental Juga Jadi Korban
Yang nyakitin dari semua ini bukan cuma soal kehilangan uang. Tapi efek psikologis yang muncul setelahnya.
Bayangin, udah susah-susah datang interview, udah berangkat jauh-jauh naik angkot terakhir, udah beraniin diri pinjam uang buat “biaya training”—tapi akhirnya ditipu.
Rasa kecewa, malu, hancur mental, semuanya datang barengan. Dan sering kali, orang yang tertipu ini malah jadi makin takut nyoba lagi. Jadi makin pasrah, makin rendah diri.
Enggak ada pelajaran soal rekrutmen, cara verifikasi perusahaan, hak-hak pelamar, atau edukasi soal penipuan kerja. Yang penting lulus, urusan habis itu… nasib.
Ini jadi celah besar yang dimanfaatin pelaku penipuan. Dan karena negara absen, pelaku bebas mengulang modusnya berkali-kali. Tinggal ganti nama, ganti alamat, siap panen korban baru.
Kedok lain yang gak kalah populer: agen penyalur kerja. Tapi sebelum itu, korban harus bayar dulu. Kadang disebut biaya jaminan, kadang katanya buat “pembinaan”.
Yang lebih sadis, kadang pelamar diminta bawa teman biar ikut daftar—mirip skema MLM.
Ini bukan sekadar tipu uang. Tapi tipu prosedur.
Karena prinsip dasar rekrutmen resmi adalah: perusahaan yang seleksi, bukan pelamar yang beli kesempatan.
Kenapa Korban Terus Bertambah? Karena Sistemnya Diam
Penipuan kerja ini terus berkembang karena:
- Tidak ada sistem pelaporan terpadu
- Hukum lambat menindak
- Banyak korban enggan lapor karena malu
- Negara belum hadir dalam bentuk edukasi maupun platform rekrutmen yang terstandarisasi
- Selama ini masih dianggap “urusan pribadi”, maka pelaku tetap bisa berkembang dan korban akan terus bergantian.
Kalau interview kerja masih bisa dibungkus rapi jadi jebakan, maka jelas kita butuh lebih dari sekadar himbauan waspada.
- Kita butuh sistem perlindungan pencari kerja.
- Kita butuh edukasi kerja sejak sekolah.
- Dan yang paling penting: kita butuh negara yang benar-benar hadir bukan cuma waktu bikin janji kampanye.
Korbannya bukan cuma yang “gampang percaya”, tapi mereka yang terlalu lelah buat curiga. Dan selama tidak ada reformasi sistem rekrutmen, tidak ada edukasi menyeluruh, serta tidak ada pengawasan ketat, maka cerita-cerita pilu soal kerja yang berujung tipu akan terus jadi bagian dari realitas kita.
Jadi, kalau hari ini kamu atau kenalanmu sedang cari kerja—mikirnya jangan buru-buru. Verifikasi dulu, tanya-tanya dulu, dan kalau ada yang terasa janggal… besar kemungkinan itu jebakan.






