Sebelum bicara tentang lapangan kerja, mari mundur sedikit ke akar persoalan yang jarang disentuh: pengangguran karena gengsi sosial di era digital. Ironisnya, ini bukan cuma soal malas, tapi hasil dari benturan antara dunia maya yang penuh pencitraan dan kenyataan hidup yang keras. Banyak orang muda hidup di dua dunia: satu dunia yang menuntut untuk tampil sempurna, dan dunia nyata yang menuntut mereka untuk berjuang dari bawah.
Dan di sinilah lahir generasi yang tampak percaya diri, tapi sebenarnya penuh keraguan. Mereka bukan tak mau bekerja, melainkan takut terlihat gagal. Takut dianggap belum sukses. Takut terlihat tidak sekelas dengan standar hidup yang mereka konsumsi setiap hari lewat layar ponsel.
Krisis Identitas Kelas: Antara Dunia Nyata dan Dunia Digital
Bayangkan hidup di tengah banjir konten kesuksesan palsu. Setiap hari ada orang seusia yang pamer kantor estetik, work from café, atau gaji puluhan juta dari pekerjaan kreatif. Media sosial menciptakan ilusi bahwa semua orang sedang naik kelas. Akibatnya, banyak yang ikut menganggap dirinya sudah berada di posisi menengah, padahal secara ekonomi masih bergantung penuh pada orang tua.
Fenomena ini dikenal sebagai krisis identitas kelas digital, di mana seseorang merasa layak untuk pekerjaan prestisius tanpa memiliki kemampuan yang mendukung. Saat realitas tak seindah ekspektasi, muncul penolakan terhadap kenyataan. Mereka menolak pekerjaan “biasa” karena takut dianggap gagal beradaptasi dengan standar sukses yang mereka lihat di media sosial.
Budaya Pamer dan Pengangguran Bergengsi di Media Sosial
Dalam dunia digital yang serba visual, nilai kerja bukan lagi diukur dari fungsi dan manfaatnya, tapi dari seberapa keren pekerjaan itu terlihat. Kerja di tempat sederhana dianggap memalukan karena tidak bisa dijadikan konten. Dari sinilah muncul istilah pengangguran gengsi — orang yang memilih tidak bekerja karena takut citranya jatuh.
Banyak yang lebih nyaman terlihat sibuk di media sosial ketimbang benar-benar berjuang di dunia nyata. Mereka menolak pekerjaan yang bisa jadi batu loncatan hanya karena tidak “Instagramable.” Dan di sisi lain, terus mempertahankan gaya hidup konsumtif agar tetap terlihat berhasil.
Rasa Takut Gagal: Akar dari Semua Gengsi
Salah satu akar terdalam dari fenomena ini adalah ketakutan terhadap kegagalan publik. Di masyarakat yang cepat menghakimi, sekali salah bisa langsung dicemooh. Akibatnya, banyak orang tumbuh dengan keyakinan bahwa gagal berarti tidak cukup baik. Mereka belajar menyembunyikan ketakutan di balik kalimat halus seperti “belum waktunya kerja” atau “masih cari yang cocok”.
Padahal, itu hanya cara elegan untuk melindungi ego yang rapuh. Gengsi, dalam hal ini, bukan kesombongan — melainkan mekanisme pertahanan diri. Benteng untuk menutupi rasa minder.
Dari Ketakutan Jadi Alasan, Dari Alasan Jadi Identitas
Lama-kelamaan, rasa takut itu menjelma jadi pola pikir. Orang mulai percaya bahwa dirinya memang belum siap, padahal sebenarnya hanya menunda. Menunda bukan karena menunggu waktu yang tepat, tapi karena takut menghadapi kenyataan bahwa harus mulai dari bawah.
Inilah lingkaran setan pengangguran gengsi:
- Takut gagal → menolak mencoba.
- Menolak mencoba → kehilangan pengalaman.
- Kehilangan pengalaman → makin takut gagal.
Lingkaran ini berputar terus sampai akhirnya seseorang kehilangan arah, terjebak dalam stagnasi yang diciptakan sendiri.
Disonansi Sosial: Antara Aspirasi dan Kapasitas
Masalah paling kompleks muncul ketika aspirasi sosial jauh melampaui kemampuan aktual. Banyak orang ingin hidup seperti kelas menengah urban — nongkrong di kafe, kerja remote, punya karier fleksibel — tapi lupa bahwa semua itu butuh pondasi: keterampilan, disiplin, dan pengalaman.
Ketika kemampuan belum sampai ke sana, muncullah disonansi sosial: keinginan yang tak seimbang dengan realitas. Dan saat jarak itu terasa terlalu jauh, rasa malu berubah jadi gengsi. Gengsi ini lalu digunakan sebagai alasan untuk tidak memulai dari bawah.
Pendidikan dan Sistem Sosial yang Memupuk Citra
Sejak kecil, kita diajarkan bahwa sukses identik dengan pekerjaan intelektual. Pakaian rapi, ruang kerja ber-AC, jabatan dengan gelar panjang. Sementara pekerjaan manual, pelayanan, atau lapangan dianggap “kurang bergengsi.” Akibatnya, saat keluar sekolah dan dihadapkan pada realitas bahwa mayoritas lowongan ada di sektor itu, muncul benturan keras antara idealisme dan kebutuhan.
Alih-alih menyesuaikan diri, banyak yang memilih mundur dengan alasan “belum cocok.” Padahal yang sebenarnya terjadi adalah penolakan terhadap kenyataan sosial.
Pengangguran Psikologis: Ketika Tak Bekerja Bukan Lagi Soal Ekonomi
Ada bentuk pengangguran yang lebih halus: pengangguran psikologis. Mereka mungkin punya kemampuan, tapi kehilangan keberanian untuk bertindak. Hidup di bawah tekanan citra sosial membuat mereka takut terlihat belum berhasil. Mereka sibuk menjaga tampilan, bukan membangun kapasitas.
Fenomena ini menandai pergeseran nilai kerja dari kebutuhan menjadi simbol status. Kerja keras dihargai bukan karena hasilnya, tapi karena seberapa indah bisa dipamerkan.
Menolak Terlihat Rendah, Padahal Dari Sanalah Semua Orang Memulai
Lucunya, semua orang sukses pernah berada di posisi rendah. Tapi generasi digital yang terjebak dalam budaya validasi sosial sering lupa bahwa perjalanan dimulai dari ketidaksempurnaan. Tak ada yang langsung bisa. Tak ada yang langsung cocok.
Yang membedakan hanyalah keberanian untuk terlihat biasa saat sedang berproses. Karena orang yang benar-benar bergerak tak butuh sorotan. Ia tahu, ketidaksempurnaan hari ini bukan aib — tapi bukti sedang tumbuh.
Pengangguran Karena Gengsi Adalah Krisis Keberanian
Pada akhirnya, pengangguran bukan cuma masalah ekonomi, tapi masalah keberanian. Keberanian untuk terlihat belum bisa, keberanian untuk gagal, dan keberanian untuk mulai dari titik yang tidak indah.
Selama gengsi masih dijadikan tameng untuk menutupi rasa takut, pengangguran akan terus tumbuh bukan karena lapangan kerja yang sempit, tapi karena mental yang sempit.
Dan mungkin, langkah pertama untuk keluar dari krisis ini bukan mencari kerjaan yang “pas,” tapi berani mengakui bahwa belum ada yang sempurna. Karena justru dari ketidaksempurnaan itulah semua proses dimulai — perlahan, tapi nyata.






