Sulit membantah bahwa pesantren adalah salah satu lembaga pendidikan tertua sekaligus paling berpengaruh di Indonesia. Ia tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tapi juga membentuk karakter dan moral. Namun, di balik kekhidmatan itu, terselip ironi yang jarang dibicarakan: apakah sistem pendidikan pesantren masih memerdekakan jiwa santri atau justru menundukkan pikirannya?
Pendidikan seharusnya menjadi proses pencarian makna. Tetapi ketika otoritas guru dianggap mutlak dan adab dijadikan pagar besi untuk membatasi pertanyaan, maka pencarian berhenti di titik ketakutan. Dalam situasi ini, santri bukan lagi penjelajah pengetahuan, melainkan pewaris ketaatan yang nyaris tanpa ruang dialog.
Kultus Guru dan Hilangnya Kemandirian Santri
Fenomena spiritual dependency di pesantren masih menjadi perbincangan hangat. Banyak santri tumbuh dengan keyakinan bahwa keberkahan hidup sepenuhnya bergantung pada restu guru. Kepercayaan ini memang lahir dari niat mulia — menghormati sosok pembimbing — namun perlahan berubah menjadi pola pikir hierarkis yang mirip dengan sistem feodal.
Dalam sistem semacam ini, guru bukan hanya pengajar, tetapi juga simbol kekuasaan spiritual. Setiap ucapannya bisa menjadi kebenaran final, sementara murid hanya berperan sebagai penerima tanpa ruang tafsir. Akibatnya, pendidikan yang seharusnya menumbuhkan kesadaran justru melahirkan ketergantungan batin.
Feodalisme Religius: Kekuasaan yang Terselubung Hormat
Feodalisme di pesantren tidak hadir dalam bentuk keras seperti sistem bangsawan zaman dulu. Ia hadir lembut, dibungkus oleh kata adab, ta’dzim, dan barokah. Murid yang terlalu banyak bertanya sering dianggap kurang sopan. Mereka yang ingin berdialog malah dilabeli kurang ajar. Akhirnya, banyak santri belajar diam — bukan karena tidak tahu, tapi karena takut salah langkah di hadapan figur yang disakralkan.
Inilah bentuk kekuasaan simbolik: tanpa perlu perintah, murid sudah tahu di mana batas aman berpikir. Rasa takut kehilangan restu jauh lebih besar daripada keinginan memahami kebenaran. Lambat laun, pendidikan pun kehilangan fungsi kritisnya.
Hierarki Sosial dan Politik di Balik Pagar Pesantren
Posisi kiai di pesantren bukan hanya spiritual, tapi juga sosial dan politik. Ia dihormati, didengar, dan seringkali dijadikan rujukan dalam urusan publik. Wibawa moralnya menjalar ke wilayah ekonomi bahkan politik lokal. Banyak masyarakat memperlakukan pandangan kiai sebagai keputusan final, bukan sekadar nasihat.
Dari sinilah muncul fenomena kekuasaan moral absolut. Ketika otoritas agama bercampur dengan pengaruh sosial, struktur kekuasaan menjadi semakin kompleks. Dan karena kekuasaan ini lahir dari simbol kesucian, kritik terhadapnya kerap dianggap dosa sosial — bukan argumen rasional.
Ketika Adab Menjadi Tameng Kekuasaan
Kata “adab” di pesantren memiliki makna sakral. Namun, dalam praktiknya, konsep ini sering bergeser. Adab yang sejatinya mengajarkan kesadaran, kini berubah menjadi mekanisme kontrol sosial. Santri dilatih tunduk, bukan karena paham, tapi karena takut melanggar batas.
Fenomena ini sejalan dengan konsep obedience conditioning dalam psikologi sosial — pembiasaan untuk tunduk pada otoritas tanpa pertimbangan logis. Dalam jangka panjang, pola ini menanamkan keyakinan bahwa keselamatan terletak pada kepatuhan, bukan pengetahuan. Dan ketika cara berpikir seperti ini diwariskan lintas generasi, lahirlah masyarakat yang lebih takut salah daripada ingin tahu.
Efek Sosial: Dari Ruang Belajar ke Ruang Publik
Sistem vertikal dalam pendidikan pesantren berdampak lebih luas dari sekadar ruang kelas. Banyak alumni membawa pola pikir yang sama ke masyarakat: tunduk pada figur otoritatif, mencari siapa yang harus dipercaya, bukan apa yang benar.
Di ranah sosial dan politik, hal ini menciptakan masyarakat yang mudah diarahkan tapi sulit diajak berdiskusi. Mereka lebih menghormati ketenangan daripada kebenaran, lebih menghargai stabilitas daripada evaluasi. Budaya antikritik tumbuh bukan karena ketidaktahuan, tapi karena kebiasaan menahan diri demi menjaga simbol kesucian.
Antara Rida Guru dan Kemerdekaan Pikiran
Pertanyaan mendasar yang kini muncul adalah: apakah restu guru harus menjadi penentu arah hidup santri? Dalam pandangan tradisional, rida guru memang diyakini sebagai jalan pembuka keberkahan. Namun, jika keyakinan itu menjelma menjadi ketakutan, maka relasi spiritual berubah menjadi relasi kekuasaan.
Seharusnya pendidikan mendorong murid untuk menemukan dirinya, bukan sekadar meniru gurunya. Sebab tanpa kebebasan berpikir, pesantren hanya akan mencetak generasi yang baik tapi pasif — disiplin tapi tidak berani menantang ketidakadilan.
Mendobrak Dogma, Menghidupkan Dialog
Modernisasi pesantren tidak berarti menghapus tradisi. Ia berarti menata ulang makna adab agar tetap hidup berdampingan dengan nalar kritis. Guru tidak kehilangan wibawa hanya karena membuka ruang diskusi. Justru dari dialog itulah ilmu menjadi dinamis, relevan, dan hidup.
Pesantren bisa menjadi ruang pembebasan jika berani melangkah keluar dari bayang-bayang feodalisme spiritual. Karena sejatinya, ketaatan yang lahir dari kesadaran jauh lebih berharga daripada kepatuhan yang lahir dari ketakutan.
Refleksi: Pendidikan, Kekuasaan, dan Makna Kebebasan
Pendidikan di pesantren akan selalu dihormati selama ia menuntun manusia menuju pencerahan. Tapi bila sistemnya terus menutup ruang tanya, maka lambat laun pesantren hanya akan dihormati karena simbol, bukan karena nilai.
Kemandirian berpikir bukan ancaman bagi adab. Ia justru bukti bahwa ajaran pesantren berhasil — karena santri yang berani berpikir adalah santri yang benar-benar memahami makna ilmu.
Kadang penghormatan bisa menjadi jerat halus yang mematikan nalar. Namun, saat adab dipahami sebagai kesadaran, bukan ketakutan, di situlah pesantren kembali menemukan jiwanya — ruang tempat manusia belajar menjadi bebas, tanpa kehilangan rasa hormat.






