Fenomena Sarjana Kerja Tak Sesuai Jurusan

Edukasi8 Views

Aneh tapi nyata — semakin banyak sarjana, justru makin banyak pula yang bekerja di bidang yang sama sekali tidak nyambung dengan jurusan kuliahnya. Seolah-olah ijazah hanya tiket masuk ke dunia kerja, bukan peta arah karier. Namun kalau ditelusuri lebih dalam, fenomena ini bukan sekadar akibat “salah jurusan” atau “kurang beruntung”. Ada benturan halus antara sistem pendidikan, tekanan sosial, dan realitas ekonomi yang saling tumpang tindih.

Dunia Kerja Bergerak Terlalu Cepat

Coba bayangkan: empat tahun duduk di kelas, menulis skripsi, menghafal teori yang sebagian bahkan sudah kedaluwarsa. Begitu lulus, dunia kerja menuntut kemampuan yang serba praktis, cepat, dan up-to-date. Itulah jurang besar antara dunia akademik dan industri.

Kampus masih sibuk menghitung jumlah lulusan, sementara perusahaan hanya peduli siapa yang bisa langsung menghasilkan. Maka tak heran, banyak sarjana teknik yang akhirnya jadi sales, atau lulusan ekonomi yang justru bekerja di bagian operasional. Di mata industri, gelar hanyalah formalitas; yang dicari adalah adaptabilitas.

Ketika Gelar Jadi Simbol Naik Kelas

Pierre Bourdieu pernah memperkenalkan konsep cultural capital — bahwa gelar akademik adalah bentuk modal budaya yang diyakini bisa menaikkan status sosial keluarga. Di banyak rumah tangga Indonesia, kuliah bukan sekadar pendidikan, melainkan investasi emosional dan ekonomi.

Masalahnya, ekspektasi ini sering kali berubah jadi tekanan. Orang tua berharap anaknya segera “mengembalikan modal”, entah dengan cepat bekerja, memiliki gaji tetap, atau terlihat mapan. Ketika lapangan kerja di bidang jurusan belum terbuka, para sarjana pun memilih jalur apa saja yang ada di depan mata. Idealismenya tenggelam di bawah desakan kewajiban membuktikan diri.

Status Anxiety dan Budaya Banding-Bandingan

Dalam masyarakat yang gemar menilai dari penampilan luar, muncul apa yang disebut status anxiety — kecemasan karena takut terlihat gagal di mata orang lain. Banyak sarjana sebenarnya punya peluang bekerja sesuai jurusan, tetapi profesi itu dianggap “kurang keren”.

Contohnya, lulusan biologi yang ingin meneliti tapi justru masuk industri finansial, atau lulusan sastra yang terjun ke dunia marketing karena dianggap lebih prestisius. Ini bukan hanya soal uang, tapi juga gengsi sosial. Manusia cenderung membandingkan diri lewat pencapaian orang lain, atau dalam psikologi disebut social comparison theory.

Maka tidak heran, banyak karier akhirnya dibangun bukan di atas passion, melainkan demi menjaga citra di mata keluarga dan lingkungan.

Ketika Gelar Tak Lagi Menjamin Spesialisasi

Banyak lulusan baru mengira gelar sarjana otomatis membuat mereka spesialis di bidangnya. Sayangnya, industri memandang sebaliknya. Bagi perusahaan, lulusan baru adalah entry-level, bukan ahli.

Ilusi inilah yang sering menimbulkan kekecewaan. Begitu masuk dunia kerja, realitas langsung menampar: teori kampus jarang terpakai, sementara keterampilan praktis justru jadi penentu. Fenomena ini dikenal sebagai overqualification effect — ketika seseorang merasa punya kemampuan tinggi, tapi akhirnya menerima pekerjaan di bawah kualifikasinya demi bertahan hidup.

Bertahan Lebih Penting daripada Ideal

Di tengah biaya hidup yang terus meningkat, banyak sarjana tidak punya waktu untuk menunggu pekerjaan yang ideal. Mereka harus segera menghasilkan uang. Dalam situasi seperti ini, kesesuaian jurusan dianggap kemewahan.

Lapangan kerja formal yang sesuai bidang studi terbatas, sementara kebutuhan hidup tidak bisa ditunda. Akhirnya muncul mentalitas bertahan hidup — bekerja apa pun yang tersedia, meski jauh dari keilmuan. Dalam konteks ini, pragmatisme mengalahkan idealisme.

Kurikulum vs Realitas Industri

Masalah utama bukan hanya di individu, tapi pada sistem pendidikan yang lambat beradaptasi. Revisi kurikulum bisa butuh waktu bertahun-tahun, sementara teknologi dan tren industri berubah tiap bulan. Akibatnya, mahasiswa belajar teori yang sudah tertinggal begitu mereka lulus.

Universitas sering berfokus pada prestise akademik, bukan relevansi. Padahal perusahaan kini lebih menghargai sertifikasi, portofolio, dan soft skill. Dunia kerja tidak lagi mengukur kecerdasan dari nilai IPK, tapi dari kemampuan menyelesaikan masalah dan beradaptasi.

Ketika Jaringan Lebih Penting dari Nilai

Dalam dunia kerja modern, jaringan sering kali lebih menentukan daripada ijazah. Orang yang punya relasi kuat bisa mendapatkan peluang lebih cepat dibanding mereka yang sekadar berprestasi akademik.

Fenomena ini memperjelas jurang antara kampus dan realitas industri. Mahasiswa diajarkan teori kompetisi meritokratis — bahwa yang cerdas pasti berhasil. Tapi kenyataan menunjukkan, yang pandai berjejaringlah yang lebih sering mendapat kesempatan.

Dilema Passion dan Survival

Ada keyakinan populer: “kerja sesuai passion pasti bahagia.” Sayangnya, kenyataan tidak selalu seindah itu. Tidak semua passion menghasilkan uang, dan tidak semua pekerjaan menyenangkan tapi menjamin hidup.

Maka banyak sarjana yang akhirnya menunda passion-nya demi stabilitas finansial. Mereka berpikir, “yang penting punya penghasilan dulu, nanti baru mengejar impian.” Namun sering kali “nanti” itu tak pernah datang. Rutinitas menelan idealisme, dan perlahan karier pun menjauh dari cita-cita semula.

Takut Dianggap Gagal

Dalam masyarakat kolektif seperti Indonesia, keberhasilan seseorang jarang diukur dari kepuasan pribadi. Lebih sering dari pengakuan sosial. Maka bekerja di bidang yang tidak sesuai jurusan pun dianggap lumrah, asalkan terlihat sukses.

Di sisi lain, sarjana yang mencoba bertahan di jalur sesuai bidangnya tapi belum menghasilkan justru dicap “nganggur” atau “gagal.” Norma sosial semacam ini memperkuat lingkaran tekanan, membuat orang lebih takut mengecewakan lingkungan daripada kehilangan arah kariernya sendiri.

Bukan Soal Salah Jurusan, Tapi Salah Sistem

Jika ditarik benang merah, banyaknya sarjana yang bekerja tidak sesuai jurusan bukan cerminan kegagalan pribadi, melainkan gejala sistemik. Dunia pendidikan, sosial, dan ekonomi berjalan di jalur berbeda. Kampus menyiapkan teori, tapi industri menuntut fleksibilitas.

Selama ketimpangan ini belum ditutup, fenomena sarjana lintas bidang akan terus terjadi. Bukan karena mereka tidak kompeten, tapi karena sistem yang tidak sinkron antara ilmu dan kebutuhan. Pada akhirnya, mereka yang bertahan bukan yang paling pintar, tapi yang paling bisa beradaptasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *