Banyak pekerja di Indonesia menjadikan gaji kecil atau sistem kerja yang tidak adil sebagai alasan utama ketidakpuasan. Namun, jika dilihat lebih dalam, sering kali ada peran pola pikir pribadi yang memperparah kondisi. Fenomena “budaya mengeluh” ini tumbuh dari kombinasi rasa pasrah, kebiasaan membandingkan diri, serta anggapan bahwa nasib sepenuhnya ditentukan orang lain.
Self Handicapping: Sengaja Membatasi Diri
Salah satu penyebab stagnasi adalah self handicapping, yaitu perilaku membuat “alasan aman” agar kegagalan tidak menyakitkan. Misalnya, menolak ikut pelatihan dengan dalih perusahaan tidak peduli atau enggan melamar promosi karena takut ditolak. Akibatnya, pekerja justru terjebak di zona aman. Dari luar terlihat realistis, tapi sebenarnya mengorbankan masa depan karier.
Locus of Control Eksternal: Menyalahkan Keadaan
Dalam psikologi sosial, kondisi ini disebut locus of control eksternal, di mana seseorang percaya hasil hidup sepenuhnya tergantung faktor luar. Pekerja dengan pola pikir ini menganggap naik gaji mustahil tanpa belas kasihan atasan atau pemerintah. Akibatnya, semangat untuk mengasah kemampuan baru rendah. Padahal, pasar kerja saat ini lebih menghargai skill relevan daripada sekadar kerja keras.
Fixed Mindset: Merasa Kemampuan Tidak Bisa Diubah
Selain itu, fixed mindset pekerja Indonesia juga berperan besar. Banyak karyawan percaya kemampuan adalah bawaan lahir yang tidak bisa ditingkatkan. Senioritas dan pengalaman panjang sering dianggap “cukup” tanpa tambahan pelatihan. Sayangnya, ketika industri berubah, mereka mudah tertinggal. Ironisnya, keluhan soal sistem makin keras padahal masalahnya ada pada pola pikir yang kaku.
Learned Helplessness: Rasa Pasrah Setelah Gagal
Tidak sedikit pekerja yang berhenti berusaha karena terbiasa mengalami penolakan. Fenomena ini dikenal sebagai learned helplessness. Setelah beberapa kali gagal melamar kerja, mereka meyakini usaha apapun tak ada gunanya. Akibatnya, motivasi menurun, rasa percaya diri hilang, dan stagnasi makin kuat. Lingkungan sosial ikut memperparah karena kegagalan sering dianggap “aib” bukan bagian dari proses belajar.
Social Comparison: Sibuk Membandingkan, Lupa Berkembang
Fenomena lain yang marak adalah social comparison. Alih-alih fokus pada pengembangan skill, energi habis untuk membandingkan gaji dan fasilitas dengan rekan kerja. Perbandingan ke atas (upward) membuat minder, sementara perbandingan ke bawah (downward) melahirkan rasa puas palsu. Lingkungan kerja semacam ini semakin membuat upgrade skill dianggap tidak penting.
Akar Stagnasi: Antara Sistem dan Pola Pikir
Tentu saja, masalah dunia kerja Indonesia tidak bisa hanya disalahkan pada individu. Rekrutmen yang nepotis, lapangan kerja terbatas, atau sistem yang tidak transparan adalah realitas. Namun, pola pikir pekerja yang pasrah membuat peluang kecil semakin sulit diambil. Kombinasi dua hal ini menciptakan lingkaran stagnasi di mana pekerja hanya fokus bertahan, bukan berkembang.
Pentingnya Upgrade Skill sebagai Jalan Keluar
Meskipun sistem sulit diubah dalam waktu cepat, individu tetap punya ruang untuk keluar dari stagnasi. Belajar keterampilan baru, mengikuti pelatihan online, atau berani mencoba tantangan bisa mematahkan budaya pasrah. Pentingnya upgrade skill di dunia kerja Indonesia adalah satu-satunya strategi agar pekerja bisa memenangkan kompetisi dan keluar dari “generasi mengeluh tanpa solusi”.
Saatnya Ngaca, Bukan Hanya Salahkan Sistem
Masalah gaji kecil dan sulitnya naik kelas dalam dunia kerja memang nyata, tapi menyalahkan sistem tanpa refleksi diri hanya akan memperkuat stagnasi karier. Locus of control eksternal, fixed mindset, learned helplessness, social comparison, hingga self handicapping adalah jebakan psikologis yang membuat pekerja makin sulit berkembang.
Jika ingin perubahan, pola pikir harus dirombak: berhenti pasrah, mulai belajar, dan fokus pada diri sendiri. Pasar tenaga kerja bergerak cepat, dan hanya mereka yang berani upgrade skill yang akan tetap relevan.






