Fenomena Tukang Parkir Liar dan Stagnasi Sosial: Realita SDM Indonesia yang Gagal Naik Kelas

Edukasi44 Views

Bukan karena rakyat Indonesia hobi berdiri di pinggir jalan sambil tiup peluit. Tapi karena memang sistem ekonomi kita bikin banyak orang enggak punya opsi. Saat pilihan hidup udah sempit, profesi tanpa pelatihan, tanpa status jelas, dan tanpa jenjang karier justru jadi jawaban tercepat: jagain motor, tarik uang, dan selesai.

Ternyata, Profesi Sementara Bisa Jadi Permanen

Tapi di sini? Bisa jadi profesi seumur hidup. Bukan karena enggak bisa mikir, tapi karena enggak pernah diajarin cara mikir jangka panjang. Dari kecil dibiasain kejar nilai, bukan kejar kemampuan hidup. Lulus sekolah, bingung. Mau kerja enggak tahu caranya. Mau dagang, enggak ngerti modal dari mana. Akhirnya, parkiran jadi pelarian.

Zona Nyaman: Tempat Paling Nyaman Buat Enggak Berkembang

Tiap hari dapat uang, walau kecil, bikin orang berhenti melangkah. Enggak tertarik belajar, enggak ada target. Yang penting dapat duit tanpa ribet. Insting bertahan lebih kuat daripada keinginan berkembang. Ketika semua dianggap “cukup”, maka proses berhenti.

Bonus Demografi yang Mubazir

Indonesia katanya punya bonus demografi. Tapi di lapangan? Banyak SDM produktif cuma muter di sektor informal. Energi muda yang seharusnya bisa masuk industri kreatif malah habis jaga parkiran. Anak muda usia 20-40 tahun yang harusnya udah punya karier, malah stuck. Negara rugi, masa depan mandek.

Kenapa Tukang Parkir Liar Bisa Tumbuh Bebas?

Simpel. Karena enggak ada yang ngatur. Pemerintah daerah diem aja. Trotoar, bahu jalan, depan minimarket—semua diserobot. Bukan rakyatnya kreatif cari peluang, tapi karena ruang publik dibiarkan kosong tanpa kontrol.

Masalah Utama: Mobilitas Sosial yang Mandek

Orang kerja parkir bukan karena itu cita-cita mereka. Tapi karena itu satu-satunya opsi buat tetap hidup. Ketika lapangan kerja makin sempit, biaya hidup makin naik, tapi keterampilan enggak dikembangin… ya jadinya gitu. Pilihannya cuma bertahan, bukan berkembang.

Mentalitas Instan = Racun Produktivitas

Masalahnya makin parah saat semua jadi kebiasaan. Orang-orang mulai mikir: ngapain kerja keras kalau bisa dapat uang cepat? Proses belajar dianggap buang waktu. Upgrade skill dianggap enggak penting. Lingkungan pun ngebiarkan, bahkan mendukung. Asal bisa makan, ya udah cukup.

Dampak ke Ekonomi Mikro: Energi Tenaga Kerja Jadi Abu-Abu

Tenaga kerja yang harusnya bisa bantu UMKM, bikin jasa, atau masuk industri, malah larut di pekerjaan yang enggak jelas arah. Sektor informal jadi penampungan. Tapi penampungan yang enggak bisa dikelola, enggak bisa ditingkatkan. Akhirnya tenaga muda terjebak. Negara kehilangan potensi.

Tanggung Jawab Negara yang Enggak Boleh Ditunda

Negara enggak bisa cuma nonton. Harus hadir. Hadir bukan cuma lewat razia parkir, tapi lewat program:

  • Pelatihan keterampilan
  • Akses kerja formal
  • Pendidikan fungsional
  • Regulasi sektor informal

Kalau tidak? Ya, siap-siap generasi muda jadi ahli narik uang dari jalanan, bukan ahli bikin perubahan.

Ini alarm keras kalau sistem kita lagi buntu. Ketika profesi tanpa arah jadi tempat aman bagi ribuan orang muda, maka sistem perlu dibedah. Perlu diintervensi. Bukan dibiarin sampai generasi selanjutnya juga tumbuh dalam pola pikir yang sama: cukup asal bisa hidup.

Jangan Salahkan Individu, Salahkan Struktur

Tukang parkir bukan musuh. Mereka korban dari sistem ekonomi timpang. Mereka enggak salah karena bertahan. Tapi negara salah kalau membiarkan. Kesempatan naik kelas sosial itu hak semua warga, bukan cuma yang punya koneksi atau tinggal di kota besar. Selama akses itu masih tertutup, maka masalah ini enggak akan selesai.

Kalau terus dibiarkan, profesi parkir liar bukan cuma soal ruang publik yang semrawut. Tapi juga soal harapan yang hilang. Dan itu jauh lebih bahaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *