Job Fair Cuma Formalitas? — Bongkar Ilusi, Ekspektasi, dan Kenyataan Pahit di Balik Acara Lowongan Kerja Massal

Edukasi9 Views

Banyak yang datang ke Job Fair (JF) dengan setelan formal, tumpukan CV, dan semangat tinggi. Tapi sayangnya, pulangnya cuma bawa lelah dan pertanyaan besar: sebenarnya, JF ini buat siapa? Harapan jadi kabur ketika prosesnya terasa kosong—formulir numpuk, barcode tanpa interaksi, dan follow-up yang enggak pernah ada. Dari luar kelihatan profesional, tapi isinya? Minim substansi.

Ketika Harapan Dihisap oleh Sistem yang Tak Jelas

Ada istilah yang cocok banget buat ngewakilin rasa para pencari kerja yang udah berkali-kali datang ke JF tapi hasilnya nihil: Hope Fatigue. Ini kondisi mental ketika seseorang terlalu sering berharap, tapi terus dikecewakan. Lelah, kecewa, dan makin sulit percaya kalau usaha mereka masih punya arti.

Job Fair Itu Cuma Formalitas — Kata yang Bikin Geger

Beberapa waktu lalu, pernyataan singkat dari HRD di platform X bikin heboh: “JF itu cuma formalitas.” Bukan karena kata-katanya kasar, tapi karena ngena. Banyak yang selama ini curiga, dan akhirnya pernyataan itu jadi validasi rasa kecewa kolektif. Ini bukan kata dari netizen iseng, tapi dari orang dalam sistem rekrutmen itu sendiri.

Kenapa Banyak Perusahaan Ikut JF Tapi Enggak Rekrut?

Jawabannya sederhana: branding. Buat banyak perusahaan, JF bukan tempat rekrutmen serius, tapi ajang pamer nama. Tapi realitanya, banyak proses rekrutmen yang tetap dijalanin lewat jalur lain—platform digital, referensi internal, bahkan koneksi pribadi. CV yang dikumpulkan di event sering kali cuma jadi syarat dokumentasi, bukan bahan evaluasi kandidat.

Pemerintah Dapat Panggung, Pencari Kerja Dapat Kekecewaan

Pemerintah sering pakai JF sebagai bukti “perhatian” terhadap pengangguran. Tapi coba tanya: berapa dari angka itu yang benar-benar menghasilkan kontrak kerja? Data ini jarang muncul. Karena yang penting buat institusi bukan hasil riil, tapi visualisasi keramaian. Sebuah simbol kesuksesan, meski tanpa bukti nyata.

Siklus Kekecewaan yang Diulang Tiap Tahun

Setiap tahun, JF terus digelar. Setiap tahun pula, banyak pencari kerja pulang dengan cerita yang sama. Kenapa sistem ini dipertahankan? Karena semua pihak besar merasa diuntungkan. Pemerintah dapat bahan laporan, perusahaan dapat promosi gratis, institusi pendidikan dapat kolaborasi. Yang rugi? Para pencari kerja, yang waktu, tenaga, dan harapannya habis di acara yang lebih mirip formalitas ketimbang solusi.

Beban Mental yang Tak Terlihat, Tapi Nyata

Buat pencari kerja, gagal itu berat. Tapi gagal berulang tanpa tahu kenapa—itu jauh lebih menyakitkan. Apalagi kalau setelah usaha maksimal, yang didapat cuma barcode, Google Form, dan diam. Lingkungan sosial juga enggak selalu membantu. Sering kali yang gagal justru disalahkan. Disuruh “sabar, usaha lagi”. Padahal bukan masalah niat, tapi sistem yang rusak.

Saatnya JF Dievaluasi, Bukan Dipuja

Job Fair enggak selalu buruk. Tapi kalau sistemnya lebih sibuk jual ilusi daripada kasih solusi, saatnya kita bilang: cukup. Kritik terhadap JF bukan bentuk pesimisme, tapi sinyal bahwa transparansi dan keadilan dalam rekrutmen itu harus ditegakkan. Karena yang dibutuhkan pencari kerja adalah kepastian dan ruang masuk nyata, bukan hanya panggung pameran yang penuh logo dan slogan.

Saatnya Berhenti Menormalisasi Ketidakjelasan

Sudah waktunya JF direformasi, bukan cuma dikemas ulang. Kalau niatnya bantu pencari kerja, maka sistemnya harus jelas, transparan, dan akuntabel. Jangan terus jadikan mereka “figuran” dalam acara yang didesain buat pencitraan. Karena pencari kerja bukan alat visualisasi sukses—mereka manusia yang layak dapat proses rekrutmen yang manusiawi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *