Ini tentang kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditunda: makan, listrik, sekolah, hingga biaya hidup lainnya. Ketika orang tua kehabisan cara dan negara absen, anak-anak jadi harapan terakhir. Mereka sering dipaksa membantu, bukan karena siap, tapi karena mereka ada.
Mereka bekerja sambil sekolah, menjual gorengan, menjaga warung, hingga bekerja di pabrik. Ironisnya, situasi ini sering dianggap wajar, bahkan dipuji. Padahal, ini bukan kisah heroik—ini tanda kegagalan struktural.
Budaya Balas Budi: Beban yang Terlalu Berat
Narasi balas budi dalam keluarga miskin sangat kuat, bahkan menekan. Segala yang dilakukan orang tua dianggap sebagai “utang” yang harus dibayar kembali.
Ekspektasi ini sering tidak masuk akal. Anak yang masih muda, bahkan belum selesai sekolah, dipaksa menanggung beban keluarga. Mereka harus membantu adik, melunasi utang, hingga mengangkat derajat keluarga. Semua ini dibalut dengan kata “bakti,” padahal sejatinya adalah eksploitasi yang dilegalkan secara budaya.
Negara Absen di Titik Paling Penting
Hak anak untuk tumbuh, belajar, dan dilindungi jelas tercantum dalam undang-undang. Tapi kenyataan di lapangan jauh berbeda. Sistem pendidikan masih penuh kendala: sekolah rusak, biaya tambahan, dan akses yang sulit. Bantuan sosial pun sering tidak tepat sasaran, terhambat birokrasi, atau dijadikan alat politik.
Hukum perlindungan anak? Nyaris tanpa taring. Anak-anak yang bekerja di bawah umur masih marak di sektor informal, tapi minim pengawasan. Negara terlalu sibuk dengan proyek besar, lupa memperkuat fondasi berupa jaminan sosial yang efektif.
Dampak Psikologis yang Tak Terlihat
Beban ini meninggalkan luka mendalam. Anak-anak tumbuh dengan pola pikir survival—hidup untuk bertahan, bukan berkembang. Mereka kehilangan masa kecil, tidak sempat bermain, salah, atau sekadar beristirahat.
Glorifikasi yang Menyesatkan
Masyarakat kita punya kebiasaan berbahaya: menormalisasi yang salah. Kisah anak-anak miskin yang bekerja sambil sekolah sering kali viral dan dipuji. Komentar seperti “anak hebat” atau “calon sukses” membanjiri media sosial.
Alih-alih jadi inspirasi, ini seharusnya jadi alarm bahwa sistem telah gagal total. Normalisasi ini hanya memperkuat siklus kemiskinan. Anak-anak tumbuh dengan kesadaran palsu bahwa hidup mereka hanya untuk bertahan, bukan untuk bermimpi.
Solusi: Anak Tumbuh, Bukan Menanggung
Anak-anak butuh perlindungan, bukan ekspektasi yang terlalu berat. Pendidikan gratis, bantuan sosial yang efektif, dan jaminan kesehatan yang sederhana adalah hak dasar yang harus diperjuangkan.
Masyarakat juga perlu berubah. Narasi “anak kuat” atau “berbakti” harus digantikan dengan tuntutan kepada sistem agar anak-anak dari keluarga miskin punya masa depan yang lebih baik. Bukan anak yang harus makin kuat, tapi sistem yang harus diperbaiki.