Ketika hidup terus-menerus dihimpit tekanan ekonomi dan ketidakadilan sosial, menyalahkan pemerintah jadi pelarian yang paling sering dipilih. Rasanya melegakan, tapi masalahnya tetap ada di tempat yang sama.
Ada Apa dengan Locus of Control?
Dalam psikologi, ada konsep locus of control, yaitu cara seseorang memandang kendali atas hidupnya.
Menyalahkan Pemerintah Itu Melegakan, Tapi Tidak Mengubah Apa Pun
Nah, banyak masyarakat miskin yang tumbuh dalam kondisi di mana locus eksternal mendominasi. Dari kecil, mereka sudah terbiasa melihat kerja keras yang tidak membuahkan hasil. Mulai dari akses pendidikan yang sempit, birokrasi yang mahal, hingga peluang kerja yang terbatas.
Hasilnya? Dalam situasi seperti ini, menyalahkan pemerintah adalah cara paling logis untuk melampiaskan frustrasi yang tertahan.
Psikologi Scapegoating – Kenapa Pemerintah Jadi Kambing Hitam?
Ketika seseorang merasa tidak berdaya, mekanisme pertahanan diri sering muncul. Salah satunya adalah scapegoating, atau mencari kambing hitam. Bagi masyarakat miskin, pemerintah jadi target yang paling jelas.
Pemerintah adalah simbol kekuasaan, uang, dan fasilitas—hal-hal yang jauh dari jangkauan mereka.
Padahal, banyak masalah yang dihadapi sebenarnya lebih kompleks. Tapi scapegoating tidak butuh analisis. Yang penting, ada objek untuk disalahkan.
Efek Relative Deprivation dalam Kemarahan Sosial
Kemarahan terhadap pemerintah sering kali muncul bukan hanya karena miskin secara materi, tapi karena adanya perasaan tertinggal. Dalam psikologi sosial, ini disebut relative deprivation—ketidakpuasan yang muncul ketika seseorang merasa lebih sedikit dibanding orang lain.
Media sosial memperparah fenomena ini. Mereka melihat orang lain bisa hidup nyaman, makan enak, dan belanja tanpa mikir, sementara mereka harus memutar otak hanya untuk bertahan hidup. Kesenjangan ini terasa tidak adil dan menimbulkan rasa curiga bahwa sistem hanya berpihak pada orang kaya.
Apa Dampaknya Kalau Terus Menyalahkan Sistem?
Ketika pola pikir scapegoating dan locus eksternal ini terus dipelihara, refleksi diri hampir tidak pernah terjadi. Orang jadi jarang bertanya, “Apa yang bisa saya ubah dalam hidup saya?” Semua energi habis untuk menyalahkan pihak luar, tanpa upaya untuk mengevaluasi diri.
Hasilnya? Stagnasi. Tidak ada perubahan. Sistem yang memang sudah berat terasa semakin mustahil untuk dihadapi.
Teori Sistem Justifikasi – Harapan yang Hancur
Menurut system justification theory, manusia secara alami ingin percaya bahwa dunia ini adil dan teratur. Mereka membela sistem karena merasa sistem itu bisa memberikan stabilitas. Harapan yang dulu menjadi fondasi kehidupan runtuh, dan yang tersisa hanyalah kemarahan.
Masyarakat miskin merasa sistem telah menipu mereka. Mereka bekerja keras, mematuhi aturan, tapi tetap hidup dalam kemiskinan. Kekecewaan ini berubah menjadi sinisme terhadap pemerintah, apapun kebijakan yang dibuat.
Perubahan Butuh Evaluasi dari Dalam
Menyalahkan pemerintah bukan berarti salah. Banyak kebijakan yang tidak adil, bantuan yang tidak tepat sasaran, dan korupsi yang merajalela. Tapi, kalau semua hanya berhenti pada kemarahan, tanpa evaluasi diri, maka perubahan juga tidak akan terjadi.
Pemerintah memang punya tanggung jawab besar, tapi tanggung jawab individu untuk berubah juga sama pentingnya. Kalau hanya sibuk menyalahkan, siapa yang akan mulai bergerak?
Perubahan Dimulai dari Mentalitas
Dan selama pola pikirnya tidak diubah, siapapun akan terus hidup di lingkaran yang sama—tanpa solusi.