Banyak orang sering mendengar saran seperti, “Daripada menabung di deposito bank, lebih baik invest di saham banknya langsung.” Saran ini bukan tanpa alasan.
Bayangkan, jika kita rutin menabung Rp1 juta setiap bulan di saham BRI sejak tahun 2009, dibandingkan dengan menabung di deposito bank dengan bunga 3% per tahun, hasilnya jauh berbeda.
Menabung di deposito bisa mengumpulkan sekitar Rp223 juta, sementara berinvestasi di saham BRI bisa menghasilkan lebih dari Rp600 juta—sekitar tiga kali lipat lebih besar. Tapi apakah ini berlaku untuk semua kasus?
Realitanya, harga saham memang tidak selalu naik secara mulus atau stabil. Misalnya, pada April 2024 lalu, harga saham BRI sempat turun hingga 23%, dan seluruh saham bank besar juga mengalami penurunan di awal Mei.
Banyak investor panik saat melihat saham-saham bank ini “merah” dan kebingungan tentang langkah apa yang sebaiknya diambil.
Di sisi lain, apakah menempatkan uang di deposito benar-benar aman? Sejumlah bank bahkan sempat menghadapi kebangkrutan di awal tahun ini, yang membuat nasabah was-was mengenai keamanan uang mereka.
Navsia akan membahas mitos-mitos terkait investasi saham dan deposito, serta memahami mana yang sekadar “katanya” dan mana yang faktanya.
Mitos 1: Investasi Saham Bank Selalu Untung
Di jangka panjang, berinvestasi di saham bank memang berpotensi memberikan keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan deposito.
Sebagai gambaran, Rp1 juta yang ditaruh di saham BRI sejak tahun 2005 bisa bernilai lebih dari Rp1 miliar saat ini.
- Fluktuasi Harga dalam Jangka Pendek
Pasar saham tidak bisa menjamin keuntungan dalam jangka pendek. Misalnya, seorang investor pemula yang membeli saham BRI pada akhir Maret 2024 mungkin sudah mengalami penurunan sebesar 23% hanya dalam sebulan. Penurunan ini bisa membuat investor panik dan akhirnya menjual saham mereka dengan kerugian. - Unrealized Loss dan Kesalahan Investor
Saat harga saham turun, sebenarnya kerugian itu baru sebatas “unrealized” atau belum terealisasi—artinya, kita hanya benar-benar rugi ketika menjual saham di harga yang lebih rendah dari harga beli. Namun, banyak investor yang buru-buru menjual karena panik, akhirnya rugi sungguhan. Jadi, meskipun saham bank berpotensi memberi untung besar, kita tetap harus siap menghadapi naik-turun harga dalam jangka pendek.
Solusi untuk Investor Saham Bank:
- Jangan beli saham di harga puncaknya. Sebagus apa pun sahamnya, membeli di harga tinggi bisa mengurangi potensi keuntungannya.
- Pertimbangkan untuk membeli ketika harga saham turun 15-20% dari puncaknya, dan jangan terlalu mengalokasikan dana besar ke saham jika kita tidak siap dengan risiko fluktuasinya.
Mitos 2: Deposito di Bank Besar Pasti Aman
Deposito di bank-bank besar seperti BRI, BCA, atau Mandiri sering kali dianggap aman, terutama karena dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Namun, ada risiko lain yang jarang diperhatikan, yaitu inflasi.
- Kalah oleh Inflasi
Rata-rata bunga deposito bank besar hanya sekitar 2-3% per tahun, dan itu pun masih dipotong pajak penghasilan 20%, sehingga keuntungan bersihnya kurang dari 2% per tahun. Sedangkan inflasi di Indonesia rata-rata mencapai 5% per tahun. Artinya, nilai uang kita di deposito secara perlahan tergerus inflasi. Jadi, meskipun deposito terkesan aman, daya belinya sebenarnya menurun seiring waktu. - Risiko Keamanan Deposito
Deposito memang dijamin oleh LPS hingga tingkat bunga tertentu. Tapi, ketika bank mengalami masalah atau bahkan bangkrut, proses pencairan dana bisa memakan waktu. Maka, menyimpan uang di deposito bank besar memang aman dalam arti tidak hilang, tetapi tetap memiliki risiko penurunan nilai.
Mitos 3: Investasi di BPR Berisiko karena Mudah Bangkrut
Banyak yang ragu berinvestasi di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) karena anggapan bahwa BPR mudah tutup. Bunga deposito 6,75% per tahun, yang juga dijamin oleh LPS walau bunga tinggi.
- Jumlah BPR yang Dicabut Izinnya Relatif Kecil
Menurut data OJK, hanya sekitar 0,5% dari total BPR di Indonesia yang izinnya dicabut pada tahun 2023. Biasanya pencabutan izin ini disebabkan oleh masalah internal, seperti fraud atau pengelolaan yang tidak baik. Meski beberapa BPR tutup, nasabah tetap mendapat perlindungan dari LPS sesuai aturan yang berlaku. - Jaminan Dana oleh LPS
Jika suatu BPR dicabut izinnya, nasabah tetap bisa mengklaim dana mereka ke LPS. Proses ini bisa memakan waktu sekitar 90 hari setelah izin BPR dicabut. Dengan aset sekitar Rp210 triliun, LPS memiliki dana yang cukup untuk melindungi nasabah BPR.
Syarat Agar Deposito Dijamin oleh LPS di BPR:
- Dana harus tercatat dalam sistem BPR.
- Tingkat bunga sesuai LPS.
- Tidak merugikan bank.
Jika memenuhi syarat ini, dana deposito kita akan tetap aman meskipun BPR tutup.
Alternatif: Deposito BPR dengan Bunga Tinggi
Bagi yang menginginkan keuntungan lebih tinggi namun tetap aman, deposito BPR bisa menjadi pilihan.
Meski BPR mungkin terdengar asing, suku bunga yang ditawarkan lebih tinggi dan sama-sama dijamin oleh LPS. Di era digital, bahkan kita bisa membuka deposito BPR secara online tanpa harus ke cabang bank, cukup dengan aplikasi khusus untuk deposito BPR.
Simpan Uang Deposito Bank atau Beli Saham Bank ?
Pasar saham fluktuatif dan keuntungan dalam jangka panjang bisa tinggi, tetapi tidak ada jaminan keuntungan dalam jangka pendek.
Deposito di bank besar mungkin terkesan aman, namun tidak bisa mengalahkan inflasi sehingga daya belinya menurun dari waktu ke waktu.
BPR menawarkan deposito dengan bunga tinggi yang juga dijamin oleh LPS, meski ada risiko BPR tutup. Meski begitu, jumlah BPR yang bangkrut sangat kecil dan LPS memberikan jaminan bagi nasabah yang memenuhi syarat.
Setiap orang perlu memilih investasi sesuai dengan kenyamanan, tujuan, dan toleransi risikonya masing-masing. Dengan pemahaman yang baik, kita bisa mendapatkan hasil terbaik tanpa harus terjebak oleh mitos yang beredar.