Di banyak komunitas miskin, pinjam ke rentenir atau pinjol dianggap sesuatu yang wajar. Fenomena social proof membuat orang percaya bahwa praktik berutang dengan bunga tinggi tidak salah, karena hampir semua tetangga dan saudara melakukannya.
Normalisasi Hutang: Social Proof dan Tekanan Lingkungan
Ditambah lagi, ada normative pressure: kewajiban ikut arisan, memberi sumbangan, atau jaga gengsi di depan keluarga. Akhirnya banyak orang rela berutang demi menjaga posisi sosial, meski tahu risikonya sangat berat.
Scarcity Mindset: Logika Terkunci di Masalah Hari Ini
Salah satu akar paling berbahaya adalah scarcity mindset, pola pikir yang lahir karena terus hidup dalam kekurangan. Otak dipaksa hanya fokus ke masalah mendesak: makan hari ini, bayar listrik besok, biaya sekolah minggu depan. Dalam kondisi ini, pinjaman online cair cepat terlihat seperti jalan keluar paling logis. Mereka tidak sempat menghitung bunga, tidak sempat menyusun strategi jangka panjang. Semua keputusan hanya diarahkan untuk survive hari ini.
Present Bias: Lebih Utamakan Besok daripada Masa Depan
Fenomena lain yang mendominasi adalah present bias, kecenderungan memilih solusi cepat walau merugikan masa depan. Bagi keluarga miskin, ini bukan tentang gaya hidup konsumtif, melainkan soal bertahan hidup. Hutang kecil bisa menyelamatkan anak yang perlu makan, meski artinya bunga besar menunggu. Karena masa depan terasa “jauh”, keputusan instan lebih sering dipilih. Pinjol dan rentenir memanfaatkan kelemahan ini dengan menawarkan proses tanpa rumit.
Beban Mental: Cognitive Load Menguras Rasionalitas
Kemiskinan membuat pikiran penuh tekanan finansial: cicilan jatuh tempo, kebutuhan pokok, ancaman listrik diputus. Pada titik ini, penderita mengalami apa yang disebut cognitive load. Otak kelelahan, kapasitas analisis turun, sehingga sulit membuat keputusan rasional. Bunga 30% tak lagi terlihat mengerikan karena energi mental sudah habis hanya untuk bertahan satu hari lagi. Inilah alasan mengapa banyak keluarga terlihat mengulang kesalahan, padahal sebenarnya kapasitas mental mereka terkunci.
System Justification: Membenarkan Sistem yang Menindas
Lebih parah lagi, ada system justification theory yang mengakar. Banyak keluarga miskin akhirnya merasa utang dengan bunga tinggi adalah “takdir orang kecil”. Sistem timpang dianggap wajar, ketidakadilan diterima sebagai hal lumrah. Ketika bunga pinjol mencekik, respons yang muncul bukan perlawanan, tapi pasrah. Rentenir makin mudah berkuasa karena korban malah ikut membenarkan sistem menindas itu.
Pola Instan: Instant Gratification dalam Versi Survival
Umumnya, instant gratification dikaitkan dengan keinginan cepat senang. Namun, bagi warga miskin, ini berubah jadi strategi bertahan hidup. Uang cepat cair meski dijerat bunga tinggi terasa jauh lebih penting daripada risiko gagal bayar. Keputusan itu bukan lahir dari kebodohan semata, tapi dari rasa putus asa yang memaksa logika dikalahkan kebutuhan mendesak.
Lingkaran Jeratan: Dari Psikologis ke Struktural
Jika disusun, masalah pinjol dan rentenir tidak hanya soal literasi finansial rendah. Ada kombinasi tekanan ekonomi, bias psikologis, stigma sosial, hingga mindset kekurangan yang membuat keluarga miskin sulit keluar. Setiap keputusan instan untuk menyelesaikan beban harian justru menambah masalah jangka panjang. Hutang menumpuk, rasa pasrah makin kuat, dan lingkaran jeratan hutang diwariskan ke generasi berikutnya.
Solusi Bukan Sekadar Edukasi Finansial
Mengatasi fenomena keluarga miskin terjebak pinjol dan rentenir tidak cukup hanya dengan sosialisasi bahaya bunga. Harus ada ruang psikologis yang membuat mereka bisa bernapas, berpikir jernih, dan percaya masih ada jalan lain. Selama scarcity mindset terus mengunci otak ke “masalah hari ini”, siklus hutang tidak akan terputus.
Dengan memahami sisi psikologis ini, kita tahu persoalan utang bukan hanya soal angka, tapi juga soal pola pikir. Dan tanpa perubahan mindset, kebijakan apapun hanya akan jadi perban sementara.






