Di balik senyuman dan rutinitas harian, ada realita yang sering nggak terlihat—terutama buat mereka yang berstatus karyawan kontrak. Banyak orang mungkin mikir, “Yang penting masih kerja,” tapi kenyataannya nggak sesimpel itu. Ada beban yang nggak kelihatan tapi terus menghimpit: ketidakpastian status, penghasilan yang pas-pasan, sampai tekanan mental yang bikin hidup rasanya nggak pernah tenang.
Bahkan seringkali diminta lembur tanpa kejelasan kompensasi. Tapi, pas giliran ngomongin hak? Tiba-tiba semuanya serba terbatas.
Yang lebih ironis, banyak dari mereka yang udah kerja bertahun-tahun tetap aja statusnya enggak naik-naik. Padahal kontribusi nyata, loyalitas, dan kerja kerasnya enggak kalah sama karyawan tetap. Tapi ya itu tadi, label “kontrak” terus nempel, seakan-akan jadi penghalang buat berkembang lebih jauh.
Kondisi ini diperparah lagi sama lemahnya perlindungan hukum. Di atas kertas, undang-undang memang mengatur hak pekerja kontrak. Tapi praktik di lapangan jauh dari ideal. Banyak perusahaan yang memanfaatkan celah hukum buat menghindari tanggung jawab. Ada yang sengaja minta resign di bulan keenam, lalu rekrut lagi dengan kontrak baru. Tujuannya? Biar nggak kena kewajiban ngangkat jadi tetap.
Bukan cuma soal kejelasan status kerja, tapi juga dampaknya ke kehidupan pribadi. Banyak yang akhirnya ragu ambil keputusan penting dalam hidup. Mau nikah? Tunggu kontrak diperpanjang dulu. Mau ambil cicilan motor atau rumah? Nunggu gaji tetap yang belum tentu datang. Bahkan buat sekadar bantu ekonomi keluarga pun jadi beban, karena masa depan sendiri belum pasti.
Situasi makin sulit ketika sistem kerja malah memaksa karyawan kontrak buat patuh tanpa banyak suara. Karena sadar posisi mereka nggak aman, akhirnya lebih memilih diam meski diperlakukan nggak adil. Protes bisa berarti kontrak nggak diperpanjang. Jadi, banyak yang terpaksa menahan semua keluhan demi sekadar tetap bekerja.
Perlakuan diskriminatif juga terasa dalam hal pengembangan karir. Karyawan kontrak jarang dikasih pelatihan atau kesempatan naik jabatan. Mereka seakan-akan cuma dianggap tenaga cadangan, bukan bagian dari tim inti. Padahal banyak dari mereka punya potensi besar. Tapi karena status kontrak itu, peluang buat tumbuh jadi makin sempit.
Belum lagi soal jaminan sosial. Ada yang bahkan nggak didaftarkan ke BPJS sejak awal kerja. Belum resmi atau masih dalam masa percobaan. Ini bukan hal yang baru. Cerita kayak gini udah terlalu sering terdengar, dan sayangnya masih terus terjadi.
Di tengah semua tantangan itu, harapan buat perubahan masih ada. Tapi perlu dorongan serius, baik dari sisi kebijakan pemerintah maupun kesadaran perusahaan. Karena karyawan kontrak juga manusia. Mereka punya mimpi, tanggung jawab, dan harapan yang sama seperti yang lain. Mereka butuh sistem kerja yang adil dan perlakuan yang layak, bukan sekadar janji.
Kalau sistem ini terus dibiarkan, bakal ada jutaan orang yang hidupnya terus-menerus dalam ketidakpastian. Bukan karena kurang usaha, tapi karena sistem yang nggak kasih ruang buat berkembang. Dan itu adalah bentuk ketidakadilan yang paling sunyi tapi menyakitkan.