Apakah Gelar Haji Masih Relevan Saat ini?

Edukasi7 Views

Tapi di balik itu, ada lapisan-lapisan sosial yang sering enggak kelihatan di permukaan. Di Indonesia, menyebut seseorang dengan panggilan “Pak Haji” atau “Bu Hajah” bukan cuma bentuk penghormatan biasa—itu semacam validasi sosial.

Gimana enggak? Ada yang nabung puluhan tahun, ada juga yang jual sawah atau lepas ternak. Jadi ketika pulang dari Mekkah dan nggak dipanggil dengan gelar haji, rasanya kayak semua perjuangan dan pengorbanan enggak dianggap.

Yang menarik, sejak kecil banyak dari kita sudah dibiasakan menghormati orang yang punya gelar keagamaan. Bahkan kadang lebih dipercaya untuk ngurus keputusan penting.

Simbol seperti gelar haji ini lama-lama jadi alat ukur keberhasilan dalam hidup. Bukan cuma soal ibadah, tapi juga pencapaian ekonomi dan moral. Dan ini berakar dari cara berpikir masyarakat yang masih mengedepankan simbol ketimbang esensi.

Struktur sosial zaman dulu, yang sangat hierarkis dan menilai orang berdasarkan status simbolik, ternyata masih terus hidup—meskipun bentuknya lebih halus sekarang.

Bukan karena dia pengen disanjung, tapi karena merasa perjuangan hidupnya diabaikan. Dalam masyarakat yang sangat menghargai simbol, panggilan itu bisa jadi hal kecil yang punya makna besar.

Nah, di sini bisa kelihatan jelas kalau agama di Indonesia bukan cuma soal hubungan pribadi sama Tuhan. Ia juga jadi alat untuk menunjukkan moralitas dan posisi di mata publik. Naik haji itu, dalam pandangan banyak orang, adalah tanda bahwa seseorang punya tingkat kesalehan dan kehormatan yang lebih tinggi.

Tapi apakah semua ini adil? Di satu sisi, enggak semua orang punya kemampuan finansial buat naik haji. Apakah itu artinya mereka jadi kurang dihormati? Di sinilah letak persoalan yang cukup kompleks. Masyarakat kita cenderung menilai berdasarkan tampilan luar. Semakin religius secara simbolik, semakin tinggi juga rasa hormat yang didapat.

Mungkin ini juga sebabnya banyak yang merasa tersinggung kalau namanya enggak disertai gelar haji. Mereka merasa kayak identitasnya dihapus, statusnya dicabut. Bagi sebagian orang, terutama yang tinggal di desa atau komunitas tradisional, gelar itu adalah bagian penting dari eksistensinya di masyarakat.

Sebetulnya, enggak semua orang haus panggilan itu. Tapi struktur budaya yang menempatkan simbol di atas substansi sering bikin orang merasa “wajib” mempertahankan gelar. Karena gelar itu dianggap bukti keberhasilan. Kalau enggak disebut, seolah-olah belum sukses.

Dan ini bukan cuma soal individu, tapi juga soal sistem. Selama penghormatan sosial masih ditentukan dari seberapa kelihatan berhasilnya seseorang, maka panggilan seperti haji akan tetap punya bobot besar. Di banyak tempat, status keagamaan itu lebih dihargai daripada prestasi lain. Bukan karena lebih penting, tapi karena simbolnya lebih kuat dan langsung dikenali.

Di akhir cerita, yang sebenarnya dicari banyak orang adalah pengakuan. Dan dalam masyarakat komunal seperti kita, pengakuan itu datangnya bukan dari dalam diri, tapi dari luar. Dari tetangga, dari lingkungan, dari masyarakat sekitar. Dan selama pengakuan itu disimbolkan lewat gelar, maka enggak heran kalau orang akan memperjuangkannya sekuat tenaga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *