Modus Keserempet & Ketimpangan Sosial di Jalanan: Ketika Manipulasi Jadi Strategi Bertahan Hidup

Edukasi30 Views

Modus keserempet yang makin marak di jalan raya bukan sekadar trik licik cari uang. Fenomena ini jauh lebih dalam: cerminan dari ketimpangan sosial, lemahnya sistem hukum, dan budaya permisif yang membuat manipulasi terasa sah.

“Yang rusak bukan hanya spion, tapi juga cara berpikir.”

Saat hukum formal tak bisa diandalkan dan masyarakat lebih percaya “bayar biar beres”, para pelaku menemukan panggung ideal untuk bermain sebagai korban. Dan selama ketidakadilan ini dibiarkan tumbuh, bukan cuma kepercayaan publik yang hancur—tapi tatanan sosial pun ikut retak.

Di balik klakson yang bersahutan dan spion yang saling bersinggungan, ada satu “aturan jalanan” yang tak tertulis tapi diamini banyak orang: asal damai, keluarin duit aja. Dari tukang parkir, warga sekitar, hingga pelaku modus itu sendiri, semuanya tahu pola mainnya. Ketika ada gesekan, bukan kebenaran yang dicari—tapi solusi tercepat. Dan biasanya, itu artinya dompet yang dikorbankan.

Modus keserempet hadir dalam ekosistem ini. Jadilah mereka targetkan pemilik mobil, mainkan skenario drama kecil, lalu tunggu si korban menyerah karena tekanan.

Masalahnya Bukan di Uangnya, Tapi di Pola Pikirnya

Orang-orang yang melakukan modus ini seringkali bukan benar-benar butuh uang untuk makan hari itu juga. Yang mereka manfaatkan adalah rasa takut, rasa bersalah, dan rasa malas ribet dari pengemudi. Mereka tahu kebanyakan orang lebih memilih damai cepat daripada laporan panjang di kantor polisi. Dan di sinilah masalahnya: bukan hanya soal uang, tapi bagaimana empati dimanipulasi jadi alat pemerasan.

Manipulasi Mental ala Jalanan: Si Korban Jadi Pahlawan Moral Palsu

Banyak pelaku merasa tak bersalah. Bahkan, dalam pikirannya, mereka lebih unggul secara moral. Mereka menganggap diri sebagai “yang dirugikan oleh sistem”, lalu merasa sah-sah saja menipu balik orang yang dianggap lebih beruntung.

Fenomena ini disebut moral disengagement—saat seseorang memutus rasa bersalah karena merasa tindakannya adalah bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan. Mobil dianggap simbol kekayaan. Tapi pelaku tak peduli. Yang penting target terlihat “lebih mapan”.

Kaya di Mata Mereka = Layak Dirugikan

Kenapa mereka jarang menyasar motor atau pejalan kaki? Karena menurut logika mereka, yang bawa mobil pasti mampu bayar. Ada stigma yang melekat bahwa semua pemilik mobil itu kaya, padahal realitanya sering jauh dari itu. Ironisnya, kecemburuan sosial ini malah jadi pembenaran moral untuk merugikan orang lain.

Dan celah ini makin lebar karena sistem ekonomi kita menciptakan jurang dalam yang sulit dijembatani. Bagi sebagian orang, “ngambil sedikit dari yang kaya” terasa lebih ringan di hati ketimbang mencuri dari sesama miskin. Tapi ini tetap mencuri. Tetap manipulasi. Tetap salah.

Kenapa Sistem Ikut Bersalah?

Satu pertanyaan penting: kenapa mereka bisa terus melancarkan aksi seperti ini tanpa takut?

Jawabannya: karena hukum lemah dan masyarakat kompromi.

  • Polisi jarang datang cepat.
  • Proses hukum lambat dan ribet.
  • Korban lebih memilih “damai di tempat” agar cepat selesai.

Semuanya ikut andil dalam membiarkan budaya ini tumbuh. Akhirnya, keadilan hanya untuk yang sanggup bersuara keras dan bayar cepat. Yang pelan, jujur, dan enggan ribut? Kalah.

Survival Mode yang Salah Arah

Buat banyak orang, hidup makin sulit. Peluang makin sempit. Impian makin jauh. Lalu, muncul pikiran: “Kalau sistem enggak adil, kita lawan dengan cara kita sendiri.”

Masalahnya, cara itu kadang salah arah.

Modus keserempet jadi semacam “survival strategy”. Tapi bukan bertahan dengan kerja keras, melainkan mengambil dari orang lain dengan memanfaatkan rasa takut. Dan yang lebih parah, itu dianggap biasa. Normal. Sah-sah aja.

Kita Semua Terlibat—Kalau Diam Aja

Ini bukan cuma masalah oknum di jalan. Ini soal masyarakat yang diam saat keadilan dijual murah.

Selama:

  • Kita melihat mobil mewah dan langsung menghakimi pemiliknya
  • Kita membenarkan penipuan kecil karena “yang ditipu kaya kok”

…maka kita semua bagian dari masalah.

Jangan Mau Dimainkan oleh Drama Jalanan

Ketika menghadapi situasi seperti ini:

  • Tetap tenang.
  • Dokumentasikan kejadian.
  • Jangan buru-buru mengeluarkan uang.
  • Ajak bicara saksi sekitar atau petugas yang netral.

Bila perlu, hubungi pihak berwenang. Lebih baik ribet sedikit daripada dimanfaatkan.

Ingat, mereka bermain di tekanan, bukan di kebenaran. Kalau kita bisa lepas dari tekanan itu, mereka kehilangan alatnya.

Modus Keserempet: Akal-Akalan Kecil, Dampak Sosial Besar

Apa yang tampak seperti “drama kecil di pinggir jalan” sebenarnya menyimpan masalah struktural yang dalam:

  • Krisis kepercayaan pada hukum
  • Mentalitas jalan pintas akibat tekanan ekonomi
  • Budaya masyarakat yang terlalu permisif terhadap manipulasi

Jika dibiarkan, ini bukan cuma soal uang ganti rugi. Ini tentang runtuhnya kepercayaan antar warga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *