Modus Penipuan Job Fair Palsu: Harapan Tinggi, Pulang dengan Tangan Kosong

Edukasi6 Views

Rasanya banyak yang udah mulai sadar kalau ada yang aneh dari acara-acara Job Fair (JF) yang makin sering diadakan. Dari luar kelihatan profesional, rapi, dan menjanjikan. Tapi pas dijalani, rasanya malah kayak jebakan halus. Orang datang dengan penuh semangat dan niat baik, tapi pulangnya lebih sering bawa pertanyaan daripada kepastian.

Pernah nggak sih, ikut JF dan ngerasa kayak ngisi formulir buat senang-senang doang? Ada booth perusahaan besar, tapi interaksinya minim. CV udah dicetak lusinan, udah latihan interview dari jauh-jauh hari, tapi pas sampai sana cuma disuruh scan barcode, isi form online, terus pulang. Ya udah, hilang kontak.

Yang lebih nyesek lagi, ini bukan kejadian sekali dua kali. Banyak pencari kerja udah ikut JF berkali-kali dan tetap dapet hasil yang sama: nihil. Ada satu istilah buat ini—hope fatigue. Kondisi di mana orang terlalu sering berharap tapi terus dikecewakan, sampai akhirnya mereka lelah buat percaya lagi.

Katanya, JF itu cuma formalitas. Kalimat pendek, tapi efeknya besar. Banyak yang langsung relate karena mereka ngerasa udah jadi korban dari sistem ini. Apalagi yang ngomong bukan netizen biasa, tapi orang dalam yang ngerti banget gimana proses rekrutmen sebenarnya.

Reaksi publik yang muncul setelah itu juga menarik. Bukan cuma marah, tapi muncul banyak diskusi soal realita sistem rekrutmen kita. Apakah selama ini kita cuma diajak main sandiwara? Apakah JF cuma jadi ajang branding tahunan perusahaan dan pemerintah? Banyak yang merasa, alih-alih membuka peluang, acara ini malah jadi semacam etalase palsu buat nunjukin “kita peduli”, padahal sebenarnya tidak.

Kalau kita jujur, JF seringkali terasa lebih kayak pertunjukan pencitraan. Pemerintah bisa bilang mereka udah buka ribuan lowongan, perusahaan bisa tampil keren dan seolah terbuka. Tapi berapa banyak yang beneran direkrut dari acara itu? Pertanyaannya seringkali gak dijawab.

Dan jangan lupakan sisi emosionalnya. Banyak peserta yang datang dari luar kota, keluar ongkos, izin kerja, bahkan ninggalin acara penting. Semua itu buat ngejar kesempatan. Tapi yang mereka temuin malah proses yang serba kabur. CV ditumpuk di kotak besar, gak tahu siapa yang bakal baca.

Wawancara? Kalaupun ada, seringnya cuma formalitas. Gak heran kalau akhirnya muncul rasa frustasi dan kehilangan arah.

Ironisnya, perusahaan-perusahaan yang datang ke JF juga belum tentu niat rekrut. Kadang mereka hadir cuma karena undangan kampus, keharusan institusional, atau sekadar ngejaga nama baik. Sementara jalur rekrutmen yang sebenarnya tetap lewat platform internal atau online. Jadi, acara sebesar itu, cuma jadi sarana pelengkap dokumen kegiatan?

Tapi bukan berarti semuanya negatif. Cuma sayangnya, porsinya kecil. Sisanya lebih fokus pada branding dan eksistensi. Dan ini bikin ketimpangan makin terasa. Apalagi buat pencari kerja yang datang dengan harapan tulus, justru malah kena dampaknya.

Satu hal yang sering diabaikan adalah efek psikologisnya. Tapi sistemnya sendiri yang gak transparan dan sering nggak kasih kejelasan.

Sementara itu, pencari kerja juga dapat tekanan dari lingkungan sosial. Disuruh sabar, disuruh terus berusaha, seolah masalahnya ada di diri sendiri. Padahal banyak masalahnya justru ada di struktur rekrutmen yang gak berpihak ke mereka.

Mungkin ini waktunya buat berhenti nganggap JF sebagai solusi instan buat pengangguran. Karena kalau realitanya masih kayak gini, kita cuma terus mengulang siklus harapan kosong. Harusnya, ini jadi titik evaluasi. Apakah sistem yang ada benar-benar kerja, atau cuma sekadar rutinitas tahunan buat pencitraan?

Kalau nggak ada perubahan dari akar, JF akan terus jadi acara penuh simbol yang kehilangan makna. Yang dibutuhkan sekarang bukan seremonial besar-besaran, tapi transparansi, akuntabilitas, dan niat tulus buat buka akses nyata ke lapangan kerja.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *