Kadang, orang-orang terlalu sibuk memikirkan dekorasi pelaminan, tapi lupa satu hal penting: tempat tinggal setelah menikah. Di banyak kasus, pasangan muda justru belum punya rencana soal itu. Banyak yang mengandalkan rumah orang tua sebagai solusi sementara. Sayangnya, ini bukan solusi jangka panjang.
Tinggal di rumah orang tua memang kelihatannya hemat. Tapi di balik itu ada dinamika sosial yang bikin ruang gerak terbatas. Pasangan baru jadi tamu di rumah yang bukan milik mereka, dan aturan pun sudah ditetapkan sejak lama. Privasi berkurang, keputusan rumah tangga seringkali dapat “masukan” dari pihak luar, dan akhirnya, hubungan jadi penuh kompromi.
Ironisnya, pesta pernikahan sering dijadikan tolok ukur kesiapan pasangan. Seolah kalau bisa gelar resepsi besar, berarti semuanya sudah mapan. Padahal faktanya, banyak yang rela berutang demi tampil wah di satu malam. Setelah itu? Harus menghadapi realita hidup dari titik minus. Bahkan untuk sekadar kontrak rumah saja ngos-ngosan.
Lebih parah lagi, banyak pasangan membawa “hantu utang” yang enggak dibicarakan sebelum menikah. Mulai dari cicilan kendaraan, kartu kredit, sampai tanggungan keluarga. Ini beban yang sifatnya pribadi, tapi efeknya langsung terasa saat sudah berumah tangga. Karena tanpa keterbukaan, yang muncul bukan saling bantu, tapi saling curiga.
Sementara itu, masih banyak yang menganggap rumah pertama harus ideal: mewah, permanen, dan langsung milik sendiri. Tapi karena gengsi sosial, banyak yang malah lebih milih menunda atau nebeng, daripada ambil langkah kecil yang realistis.
Dan jangan lupakan soal ekspektasi gender. Sampai sekarang, beban mencari tempat tinggal masih sering diletakkan di pundak laki-laki. Perempuan cenderung dianggap ikut aja. Apalagi, kondisi ekonomi sekarang udah enggak masuk akal kalau cuma ngandelin satu penghasilan.
Sebetulnya, punya rumah sendiri bukan cuma soal fisik. Tapi tentang punya ruang aman buat bangun masa depan bersama. Tentang kemandirian, kontrol atas hidup sendiri, dan tempat buat saling bertumbuh. Kalau dari awal aja udah enggak punya pondasi itu, gimana bisa jalan bareng ke depan?
Yang bikin miris, banyak keluarga besar yang justru jadi biang tekanan. Bukan pasangan yang mau pesta besar, tapi orang tua yang khawatir kalah gengsi dari tetangga. Jadi pernikahan bukan lagi soal komitmen dua orang, tapi ajang pamer yang nguras tenaga dan dompet.
Masalah utamanya bukan pada niat atau usaha pasangan muda. Banyak dari mereka kerja keras. Tapi kalau sejak awal fondasinya rapuh—karena utang tersembunyi, tekanan sosial, atau ekspektasi tidak realistis—ya wajar kalau mereka hanya mampu bertahan, bukan membangun.
Ujung-ujungnya, topik tempat tinggal jadi hal yang dihindari. Padahal rumah pertama enggak harus besar. Yang penting itu fungsinya: ada ruang untuk belajar mandiri dan berkembang bersama. Gengsi seharusnya enggak jadi penghalang untuk mulai dari kecil.
Pernikahan bukan sekadar tentang hari pertama yang meriah. Tapi tentang bagaimana bisa bertahan dan bertumbuh di hari-hari berikutnya. Kalau memang belum sanggup beli rumah, kontrakan atau kos kecil juga langkah awal yang valid.
Jadi, sebelum sibuk mikirin seserahan dan undangan, ada baiknya pasangan muda duduk bareng dan ngobrol soal realita. Bahas utang, penghasilan, rencana tempat tinggal, dan siapa yang akan berkontribusi apa.