Satu dokumen bernama ijazah ternyata bisa jadi alat penindasan yang luar biasa kejam. Bukan cuma ditahan, tapi juga dijadikan senjata untuk mengunci masa depan seseorang. Ini bukan lagi soal kebijakan internal perusahaan, tapi soal pelanggaran hak dasar manusia.
Jangan Sampai Diam, Penindasan Harus Dilawan
Dan kalau hari ini semua orang cuma diam, besok-besok sistem seperti ini bisa jadi standar baru dalam dunia kerja Indonesia. Saatnya berhenti bilang “ya udah lah”. Saatnya mulai bilang “ini harus dihentikan”.
Fenomena yang Meledak Karena Viral
Kasus perusahaan di Surabaya yang pemiliknya diduga menahan ijazah karyawan dan memaksa bayar uang Rp2 juta sebagai “jaminan”, jadi salah satu contoh terbaru dari betapa parahnya perlakuan ke pekerja di negeri ini. Lebih ironis lagi, ketika wakil wali kota Surabaya bersuara, si pemilik balik melapor polisi. Masalah ini akhirnya viral, dan dari sanalah semuanya terbongkar.
Kebijakan yang Kedengaran Manis, Tapi Beracun
“Demi loyalitas perusahaan.” Kalimat ini sering dijadikan tameng buat membenarkan tindakan nahan ijazah. Tapi yang terjadi adalah bentuk eksploitasi yang dibungkus sopan santun. Karyawan enggak bisa pindah kerja, lanjut kuliah, atau ngelamar ke tempat lain karena ijazah disandera. Bukan cuma itu, gaji pun kadang ditahan, BPJS nggak dikasih, dan semua dibiarkan seolah-olah itu normal.
Sistem Pendidikan Gagal Bekali Pekerja Paham Haknya
Banyak dari karyawan yang akhirnya tunduk karena enggak tahu haknya. Mereka datang dari daerah yang akses edukasi hukumnya terbatas. Mereka pikir, menyerahkan ijazah itu memang prosedur umum. Bahkan kalau merasa ada yang nggak beres, mereka tetap diam karena enggak ngerti harus ngelapor ke mana, atau takut kehilangan pekerjaan.
Regulasi Ada, Tapi Lemah di Penegakan
UU Ketenagakerjaan sudah jelas melarang penahanan dokumen pribadi. Tapi di lapangan, perusahaan tetap bebas main kasar karena tahu proses hukum panjang, ribet, dan cenderung enggak ada efek jera. Negara belum hadir sepenuhnya. Karyawan enggak punya pelindung yang benar-benar berpihak. Selama enggak viral, ya dianggap bukan masalah.
Penahanan Ijazah = Pemerasan Berkedok Manajemen SDM
Harusnya perusahaan bikin karyawan betah dengan kasih gaji layak, jenjang karier, dan lingkungan kerja sehat. Tapi yang terjadi malah sebaliknya: dokumen pribadi disandera supaya enggak kabur. Ini bukan manajemen SDM, ini pemerasan terselubung.
Ada Ketimpangan Sosial di Balik Semua Ini
Banyak dari yang jadi korban adalah lulusan baru. Mereka butuh kerja cepat. Dan begitu diterima, langsung dikasih syarat: serahkan ijazah. Mereka enggak tahu, itu jebakan yang bisa bikin lima tahun ke depan terasa kayak penjara. Dan ini semua terjadi karena ketimpangan informasi yang dibiarkan terus hidup.
Wacana Tanpa Aksi Politik
Solusi sebenarnya sudah jelas: perusahaan yang tahan ijazah harus bisa dikenai sanksi tegas. Bisa denda besar, pencabutan izin usaha, bahkan pidana kalau terbukti ada unsur pemerasan. Tapi itu semua masih wacana. Tanpa keberanian politik, praktik toxic ini bakal terus jadi tradisi gelap dalam dunia kerja kita.
Titik Balik atau Cuma Sekadar Tren?
Semoga kasus Diana bukan cuma tren sesaat yang dilupakan saat viralnya reda. Harus jadi momen kebangkitan kesadaran bahwa tenaga kerja bukan objek, tapi subjek pembangunan. Kalau semua pihak—pemerintah, media, masyarakat—berani jujur dan bergerak, maka perubahan bisa dimulai dari sini.
Gimana pendapatmu soal kasus kayak gini? Pernah ngalamin juga? Yuk, suarakan di tempat yang bisa didengar, biar nggak ada lagi generasi yang tumbuh dalam ketakutan cuma karena pengin kerja.






