Di banyak tempat di Indonesia, satu hal yang masih susah diubah adalah cara pandang soal pekerjaan. Sering kali, profesi seseorang lebih dinilai dari simbol yang terlihat—bukan dari kontribusinya. Seragam jadi semacam shortcut sosial, jadi tanda yang langsung bikin orang disegani. Mau itu polisi, PNS, tentara, atau bahkan sekuriti, selama pakai seragam, biasanya sikap orang langsung berubah jadi lebih hormat.
Padahal kenyataannya bisa berbeda jauh. Ada yang kerjanya besar, proyeknya internasional, tapi karena kerjanya dari rumah tanpa atribut institusi, dianggap pengangguran. Sementara yang kerja di instansi tapi hanya posisi administratif biasa bisa dipandang tinggi hanya karena seragamnya. Ini bukan soal siapa lebih baik, tapi soal persepsi yang dibentuk sama budaya visual yang terlalu kuat.
Sejak kecil, anak-anak udah diajarin buat kagum sama profesi yang punya atribut resmi. Di sekolah pun, profesi seperti dokter, pilot, tentara, PNS—yang semuanya identik dengan seragam—selalu jadi impian yang dibentuk secara kolektif. Bukan salah profesinya, tapi persepsi terhadap profesi itu yang kurang kritis.
Pekerjaan di Indonesia juga sering dijadikan alat untuk ngebanggain keluarga. Nggak sedikit anak muda yang kejar karier bukan karena minat atau kemampuan, tapi demi jadi “kebanggaan” orang tua. Karena di mata banyak orang, kerja di instansi negeri atau BUMN bisa ngangkat derajat keluarga. Bahkan kadang, lebih penting status pekerjaan itu daripada kebahagiaan si anak sendiri. Tapi efek jangka panjangnya bisa bahaya. Bisa bikin orang lupa bahwa kontribusi seseorang nggak ditentukan dari apa yang ditunjukkan di luar, tapi apa yang sebenarnya dikerjakan.
Kebiasaan kita yang terlalu peduli pada simbol luar ini bukan muncul tiba-tiba. Sejarah sosial Indonesia yang pernah hidup dalam struktur feodal bikin kita terbiasa menghargai yang dekat kekuasaan. Dulu yang kerja di kerajaan—sebagai penulis atau penjaga—dianggap lebih tinggi daripada petani atau pedagang. Sekarang, versi modernnya ya kerja di instansi negara atau lembaga resmi.
Budaya kolektif di Indonesia juga bikin identitas pribadi sangat dipengaruhi oleh pendapat orang sekitar. Jadi wajar kalau banyak orang akhirnya milih profesi demi pengakuan sosial. Sayangnya, selama kita masih mikirin gengsi sosial lewat seragam dan jabatan, banyak potensi anak muda yang akhirnya nggak berkembang maksimal. Banyak yang kejebak di jalur karier yang sebenarnya nggak sesuai hati, cuma demi status.
Sering kali juga kita terlalu sibuk ngejar tampilan, padahal dunia udah berubah. Teknologi udah ngasih banyak kesempatan lewat kerja fleksibel, remote, bahkan usaha mandiri. Tapi kalau profesi itu nggak punya atribut yang bisa dibanggain secara visual, langsung dianggap kurang serius.
Yang jadi masalah adalah ketika nilai diri kita terlalu bergantung sama pengakuan eksternal. Sayangnya, selama masyarakat masih lebih percaya sama simbol, realita diabaikan. Ujung-ujungnya, orang yang punya kapasitas tinggi tapi nggak punya status resmi bisa kalah pamor dari yang punya jabatan tapi kerja asal-asalan.
Pola pikir kayak gini juga memperbesar jarak sosial. Orang yang kerja di profesi non-institusional sering kali dianggap bukan bagian dari sistem, padahal mereka juga kerja keras, bahkan bisa lebih berdampak. Sayangnya, masyarakat kita masih terlalu menghargai yang kelihatan “tinggi”, bukan yang beneran berdampak.
Harus diakui, tekanan sosial ini nyata. Banyak anak muda yang tumbuh dengan harapan dari keluarga untuk kerja di jalur yang “pasti”. Sekolah tinggi, kuliah negeri, jadi PNS, nikah, punya rumah, punya anak. Udah kayak template hidup nasional. Masalahnya, hidup nggak selalu seideal itu. Banyak yang akhirnya ngerasa gagal cuma karena jalan hidupnya beda dari template umum.
Mungkin sudah saatnya kita ubah cara pandang soal kerja. Bukan cuma lihat dari simbol dan tampilan luar, tapi dari kontribusi nyata. Karena di akhir hari, yang bikin seseorang benar-benar sukses adalah apa yang bisa dia kasih ke dunia—bukan seragam yang dia pakai.