Lingkaran Pinjaman Online Tak Kasat Mata

Finansial7 Views

Di banyak daerah, malam bukan lagi waktu buat istirahat, tapi justru jadi momen paling aktif buat sebagian warga berkumpul. Bukan buat arisan atau ngobrol santai, tapi buat satu kegiatan dulu masih di warung atau arena sabung ayam, sekarang cukup dari genggaman tangan lewat HP. Pinjaman digital, game online—semuanya terasa makin gampang diakses. Tapi sayangnya, di balik semua itu, tersembunyi jebakan yang dalamnya enggak main-main.

Banyak orang yang akhirnya kecanduan, bukan karena iseng atau cari kesenangan. Tapi karena hidup udah nyeret mereka ke titik paling bawah, di mana semua rasionalitas jadi kabur. Awalnya mungkin cuma butuh uang buat bayar kontrakan atau beli susu anak. Tapi ketika pinjaman online gagal dibayar, mereka masuk ke dunia pinjaman sebagai usaha terakhir buat “balik modal”. Ironisnya, yang didapat malah jurang yang makin lebar.

Yang bikin situasi makin rumit adalah bagaimana sistem formal yang seharusnya hadir dan membantu, malah seringkali enggak kelihatan batang hidungnya. Bantuan sosial datang telat, koperasi gak aktif, pengawasan iklan digital minim. Jadilah aplikasi pinjol dan link Pinjaman masuk lebih dulu dengan tawaran-tawaran manis. Sekilas terlihat seperti solusi cepat, padahal ujungnya sama aja: makin terperosok.

Jangan salah, bukan berarti mereka yang terjerat itu enggak paham risiko. Banyak dari mereka sadar sepenuhnya bahwa apa yang dilakukan bisa berbahaya. Tapi kalau satu-satunya pilihan yang terlihat cuma antara kelaparan dan utang, maka yang diambil jelas bukan keputusan, tapi reaksi.

Di sisi lain, tekanan sosial enggak kalah ganasnya. Tatapan sinis tetangga, bisik-bisik saudara, sindiran teman—semuanya ikut nambah beban mental yang udah berat. Rasa malu, rasa bersalah, dan perasaan jadi beban buat keluarga seringkali bikin orang merasa dirinya enggak berharga. Yang lebih menyakitkan, banyak yang mulai percaya bahwa kesalahan ini sepenuhnya karena dirinya sendiri, bukan karena sistem yang timpang atau struktur sosial yang enggak adil.

Ada yang akhirnya memutuskan untuk diam, menghindari pergaulan, atau bahkan menutup diri dari dunia. Ada juga yang nekat cari pelarian ke hal-hal yang lebih ekstrim. Dalam kondisi kayak gitu, Pinjaman bukan lagi permainan, tapi jadi satu-satunya tempat yang masih memberi harapan, walaupun palsu.

Gambaran masyarakat yang biasa disorot hanya menampilkan sisi “kenapa bisa terjerumus”, tapi jarang ada yang tanya “kenapa mereka sampai di titik itu”. Padahal, di balik semua keputusan “bodoh” yang diambil, ada tekanan ekonomi yang enggak tertahan, ada ketidakpastian hidup, ada ketidakadilan yang dibiarkan. Mereka enggak cari kaya, mereka cuma pengen bisa hidup hari ini, besok mungkin baru mikir lagi.

Yang bikin miris, algoritma di balik platform pinjol dan Pinjaman online sudah sangat canggih. Mereka tahu siapa yang sedang stres, siapa yang punya utang, siapa yang baru saja gagal bayar. Iklan-iklan yang muncul di HP mereka bukan kebetulan. Itu semua didesain untuk menggoda dan menjebak lebih dalam. Di titik ini, orang miskin bukan cuma korban sistem, tapi juga target pasar.

Dalam realita kayak gini, kemiskinan bukan cuma soal kurang uang, tapi soal pilihan yang terus dipersempit. Pilihan antara lapar dan utang, antara diam dan malu, antara rasional dan putus asa. Dan yang lebih mengerikan adalah ketika masyarakat dan lingkungan sekitar justru ikut membenarkan semuanya. Pinjaman dianggap biasa, pinjaman dianggap jalan keluar. Enggak ada suara yang benar-benar berani bilang, “Ini salah, ini berbahaya.”

Efeknya enggak cuma finansial. Identitas diri bisa hancur, harga diri bisa terkikis habis. Buat sebagian orang miskin, martabat itu satu-satunya hal yang masih bisa dijaga. Ketika itu juga dirampas, apa lagi yang tersisa?

Sayangnya, stigma masih kuat. Mereka yang gagal bayar pinjol atau kecanduan Pinjaman malah sering disalahkan. Seolah-olah semua ini cuma soal kurang iman, kurang pintar, atau kurang kerja keras. Padahal ini soal sistem yang gagal hadir di saat paling dibutuhkan.

Selama negara masih diam melihat iklan Pinjaman merajalela, selama media sosial bebas nyebar mimpi palsu soal “cuan instan”, dan selama masyarakat cuma bisa menyalahkan tanpa memberi solusi nyata, maka lingkaran ini akan terus berulang. Korbannya akan bertambah, dan semuanya akan dimulai lagi dari titik yang sama: kepepet.

Bukan saatnya lagi nyalahin mereka yang jatuh. Saatnya tanya, kenapa mereka harus jatuh sendirian?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *