Bank Plecit: Ketika Orang Miskin Dipaksa Bertahan Lewat Hutang

Finansial4 Views

Kalau masih ada yang nanya kenapa orang miskin tetap nekat ambil hutang dengan bunga mencekik dari rentenir, jawabannya simpel: bukan karena mereka nggak ngerti, tapi karena mereka nggak punya pilihan lain. Sistem keuangan kita terlalu formal, terlalu jauh dari realitas hidup mereka.

Yang Butuh Dibongkar Itu Sistemnya, Bukan Hanya Pilihan Orang Miskin

Selama negara cuma fokus pada statistik dan lupa bahwa di balik angka itu ada manusia yang hidup dari krisis ke krisis, maka bank plecit akan tetap jadi tempat mereka bergantung.

Ketika Sistem Resmi Absen, Rentenir Mengisi Celahnya

Bayangkan seseorang yang butuh uang hari ini untuk beli obat anaknya. Gaji tak tentu, slip penghasilan nggak ada, rekening bank kosong, dan tidak punya aset untuk dijaminkan. Ke bank? Tidak bisa. Ke koperasi? Terlalu lama.

Rentenir: Bukan Sekadar Lintah Darat, Tapi Sistem Bayangan yang Tumbuh Subur

Di pasar-pasar, di gang-gang sempit, sampai desa-desa yang jauh dari kantor pemerintahan, bank plecit hadir tanpa plang. Tapi semua orang tahu siapa mereka. Transaksi dilakukan tanpa surat, tanpa kontrak, cuma modal percaya dan kebutuhan mendesak.

Satu juta pinjaman, bisa jadi dua juta balikan. Bunga harian, mingguan, bulanan—semua dihitung dengan rumus yang hanya si pemberi pinjaman yang tahu.

Dan kalau telat bayar? Penagihan bisa dilakukan langsung ke rumah, bahkan kadang disertai tekanan sosial—diperlihatkan di depan tetangga, dibentak, hingga barang dagangan disita.

Ketika Hidup Menjadi Gali Lubang Tutup Lubang

Bukan hanya satu dua orang yang masuk dalam jerat ini. Tapi jutaan. Mereka yang hidup dari penghasilan harian, seperti tukang sayur, pemulung, buruh harian, pedagang kecil. Sistem finansial resmi tidak pernah benar-benar menyentuh hidup mereka. Pinjaman rentenir jadi solusi cepat—walaupun beracun.

Karena satu-satunya pilihan yang terbuka adalah itu, maka mereka masuk. Dan ketika tak mampu bayar, mereka gali lubang baru, dari rentenir lain. Begitu terus. Sampai utangnya lebih besar dari hidup itu sendiri.

Keputusan Irasional Itu Sebenarnya Rasional dalam Kondisi Mereka

Dari luar, orang bisa dengan mudah bilang, “Ngapain pinjam dari rentenir?” Tapi bagi mereka yang hidup dari hari ke hari, dengan tekanan yang datang tanpa henti, pilihan jadi sempit.

Dalam psikologi, ini disebut decision fatigue—kelelahan karena harus terus ambil keputusan penting di bawah tekanan.

Ketika semua energi sudah habis untuk sekadar bertahan, keputusan jangka pendek akan selalu menang. Bukan karena mereka bodoh, tapi karena realitas memaksa mereka.

Ekonomi Harian, Realitas yang Tidak Pernah Dianggap Resmi

Sektor informal menyerap jutaan tenaga kerja. Tapi sistem keuangan tidak punya produk untuk mereka. Tidak ada skema kredit untuk penghasilan harian. Tidak ada jaminan yang bisa digunakan. Bahkan, tidak ada kebijakan yang secara khusus dibuat untuk pola kerja mereka.

Akhirnya, semua yang formal menjauh. Dan bank plecit justru semakin dekat. Karena mereka menawarkan apa yang paling dibutuhkan: uang cepat.

Ketimpangan yang Tidak Pernah Diselesaikan Jadi Ladang Subur Bagi Eksploitasi

Selama ketimpangan ini dibiarkan, selama negara hanya fokus pada kelompok menengah ke atas, selama regulasi keuangan tidak disesuaikan dengan realitas masyarakat bawah, maka yang akan tumbuh bukan kesejahteraan, tapi industri bayangan yang justru hidup dari penderitaan: rentenir.

Dan semua ini, makin hari, makin dianggap “biasa”. Sudah jadi budaya diam. Sudah jadi bagian dari sistem informal yang tidak pernah diakui secara hukum, tapi terus dibiarkan berkembang.

Rasa Malu Jadi Senjata Sosial yang Menghancurkan Perlahan

Bukan cuma bunga tinggi yang menyakitkan. Tapi tekanan sosial yang menyertainya. Kalau telat setor, bisa disindir di depan umum. Kalau belum bisa bayar, nama dibicarakan tetangga. Lama-lama, rasa malu itu lebih menyesakkan dari tagihannya sendiri.

Ini yang bikin banyak orang rela cari pinjaman baru, bukan karena butuh, tapi karena takut malu. Karena harga diri diukur dari kemampuan bayar, bukan dari keberanian bertahan.

Harus Ada Jalan Baru: Bukan Hanya Moral, Tapi Sistem yang Diperbaiki

Masalah bank plecit tidak akan selesai dengan nasihat. Mereka tidak butuh ceramah soal bunga. Mereka butuh akses nyata ke sistem keuangan yang ramah, cepat, dan manusiawi.

Solusinya bukan hanya memberi edukasi finansial, tapi juga membuka pintu formal untuk mereka yang selama ini ditolak. Membuat model pinjaman mikro yang fleksibel. Memberi ruang untuk penghasilan informal agar bisa dihargai sebagai dasar pinjaman.

Penderitaan Tidak Boleh Dianggap Normal

Orang miskin tidak butuh belas kasihan. Mereka butuh sistem yang adil. Butuh negara yang hadir, bukan hanya dengan angka, tapi dengan solusi nyata. Karena tidak ada orang yang rela hidup dari hutang jika ada jalan lain.

Bank plecit bukan solusi. Tapi dalam sistem yang menutup pintu bagi mereka, rentenir justru kelihatan seperti penyelamat.

Dan selama sistem keuangan resmi masih pilih-pilih siapa yang pantas dibantu, maka mereka yang hidup dari kepepet akan tetap jatuh ke pelukan utang yang menghisap pelan-pelan, sampai tak bisa keluar lagi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *