Utang Pernikahan: Ketika Gengsi Menjadi Biaya yang Dibayar Mahal

Finansial5 Views

Bukan cuma tentang gaun pengantin, gedung besar, atau undangan ribuan. Semua Ini Tidak Tentang Uang, Tapi Soal Rasa Takut Dinilai.

Bukan karena mereka tak tahu risikonya. Tapi karena takut terlihat “kurang” di mata lingkungan. Takut dibilang tidak sukses. Takut dianggap gagal. Dan itulah kenapa, di Indonesia, utang demi pesta pernikahan bukan lagi hal aneh.

Kenapa Harus Mewah? Karena Penilaian Tak Lagi Diam

Coba jujur—berapa banyak orang menikah untuk diri sendiri, dan berapa yang menikah untuk memuaskan pandangan orang lain?

Di banyak tempat, pesta pernikahan jadi ajang pembuktian. Makin besar pestanya, makin dianggap mapan. Makin sederhana acaranya, makin banyak bisik-bisik. Lucunya, tidak ada yang secara terang bilang “pernikahan harus mewah”, tapi semua orang tahu, itulah yang “dianggap wajar”.

Pernikahan sederhana vs pesta besar bukan cuma beda pilihan, tapi beda keberanian. Dan keberanian itu sulit muncul kalau tiap keputusan disorot mata tetangga, keluarga, sampai teman kerja.

Panggung Sosial: Ketika Pernikahan Jadi Ajang Unjuk Citra

Ada konsep dalam psikologi sosial namanya impression management. Intinya, orang ingin terlihat baik di hadapan publik. Wajar, sih. Tapi jadi nggak wajar ketika semua orientasi hidup diputar hanya demi pencitraan.

Dalam pernikahan, itu muncul dalam bentuk: sewa gedung mahal, baju pengantin dari desainer top, dokumentasi cinematic, dan dekorasi seperti pesta selebritas. Tujuannya? Bukan karena pengantin ingin itu semua, tapi karena takut dianggap “gagal” kalau tak menggelar pesta besar
Bahkan, ada yang rela ambil utang pernikahan hanya demi bisa “naik panggung” dengan bangga. Padahal, setelah tamu pulang dan pesta selesai, yang tersisa adalah cicilan yang tak kecil.

Kalimat yang Paling Menekan: “Masa Kalah Sama Tetangga?”

Tuntutan sosial bukan datang dari luar, tapi justru dari orang-orang terdekat. Orang tua ingin dihormati, keluarga ingin pamer, lingkungan ingin bukti bahwa mereka “berada”. Jadilah pasangan muda ikut arus. Takut dikira tak tahu adat, takut dianggap memalukan.
Dan tekanan itu seringkali terselip dalam kalimat sederhana:

  • “Masa kalah sama sepupumu?”
  • “Nanti orang bilang apa kalau pestanya kecil?”
  • “Ini momen sekali seumur hidup, harus total.”

Ketika Norma Kolektif Lebih Kuat dari Logika Pribadi

Norma sosial bekerja diam-diam tapi keras. Tidak ada aturan tertulis, tapi semua orang merasa harus ikut. Dan karena dilakukan turun-temurun, standar pernikahan besar jadi kewajiban moral, bukan pilihan pribadi.

Ironisnya, banyak yang sadar mereka belum mampu. Tapi mereka merasa lebih siap menghadapi tagihan utang daripada menghadapi tatapan nyinyir tetangga. Ketakutan sosial mengalahkan kewarasan finansial.

Akibat Nyata: Stres Setelah Pesta, Bukan Bahagia

Tapi sayangnya, bagi sebagian pasangan, hari pertama pernikahan justru jadi awal dari beban ekonomi. Cicilan datang sebelum bulan madu dimulai. Penghasilan bulan pertama habis buat bayar vendor. Dan semua itu dianggap wajar—selama pesta sukses dan tamu senang.

Dalam banyak kasus, pesta besar justru memicu instabilitas rumah tangga. Tapi masyarakat lebih fokus pada simbol luar daripada kesiapan hidup. Pesta dianggap indikator mapan, padahal bisa jadi itu jebakan panjang.

Pernikahan, Sebaiknya Milik Dua Orang Saja

Coba bayangkan kalau pernikahan benar-benar tentang dua orang. Tentang kejujuran atas kondisi finansial, bukan tentang menampilkan kemewahan semu.

Sayangnya, dalam sistem sosial kita, pernikahan adalah urusan satu desa. Kadang satu kampung ikut menilai, meskipun tidak satu pun ikut membayar. Ini bukan soal egoisme, tapi soal hak untuk memilih hidup sesuai kemampuan.

Kalau Bukan Kita yang Berani Bilang “Tidak”, Siapa Lagi?

Akan selalu ada ekspektasi. Tapi harus ada juga keberanian untuk membatasi. Keberanian untuk bilang: cukup yang sederhana. Keberanian untuk menetapkan standar sendiri, bukan ikut standar yang diwariskan tanpa alasan.

Dan kalau makin banyak orang mulai terbuka bicara soal ini, mungkin budaya menikah yang sehat dan rasional bisa pelan-pelan tumbuh. Bukan sekadar jadi panggung, tapi benar-benar jadi pintu kehidupan baru.

Enggak salah kalau mau merayakan pernikahan. Tapi pastikan alasanmu jelas: untuk bahagia, bukan untuk menghindari penilaian. Jangan sampai satu hari besar justru jadi awal dari tahun-tahun yang berat.

Kalau memang belum mampu, sah-sah aja untuk bilang, “yang penting sah, bukan mewah.” Karena yang menikah itu kalian, bukan tamunya. Yang membayar tagihan juga kalian, bukan netizen.

Pernikahan terbaik bukan yang paling meriah. Tapi yang paling jujur, sehat, dan siap untuk dijalani.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *