Ketika Ceramah Jadi Penenang, Bukan Pencerah: Peran Tokoh Agama dalam Kemiskinan Struktural

Edukasi37 Views

Masyarakat miskin di banyak wilayah Indonesia bukan cuma kalah dari ekonomi, tapi juga dari narasi. Narasi yang dibungkus kata-kata bijak.

Ketika Diam Dianggap Iman, Perubahan Jadi Mustahil

Narasi yang disampaikan dengan suara pelan tapi dampaknya menghentikan langkah. Dan selama “sabar” dan “ikhlas” terus dijadikan obat universal dari semua masalah, maka mereka yang seharusnya bangkit, justru makin dalam tenggelam.

Lompatan Logika: Bukan Agamanya, Tapi Caranya

Ini bukan soal menyalahkan iman. Ini soal bagaimana iman disampaikan, dijaga, dan dimaknai. Karena ajaran agama yang sejati semestinya mendorong pada keadilan, bukan meninabobokan dengan nasihat pasrah. Tapi kenyataannya, banyak tokoh agama malah lebih sibuk menjaga citra diri ketimbang mendorong perubahan sistemik.

Realitas di Lapangan: Ceramah yang Putus dari Dunia Nyata

Pasar naik, pendidikan mahal, biaya kesehatan gila-gilaan. Tapi yang dibahas? Surga, neraka, akhlak. Semua penting, tapi enggak bisa jalan sendiri. Karena mereka enggak pernah dikasih bekal buat bertahan hidup.

Tokoh agama jarang banget bicara soal pengelolaan keuangan, strategi menghadapi darurat, atau cara ngatur penghasilan harian. Ceramah cuma muter di kalimat manis: jangan iri, sabar aja, semua udah diatur. Padahal hidup nyata enggak bisa dijalani cuma dengan kata-kata indah.

Ketika Sabar Jadi Perangkap Sosial

Sabar itu baik. Tapi sabar yang dijadikan alasan buat enggak ngapa-ngapain? Itu jebakan. Banyak orang miskin dididik buat nerima aja keadaannya. Bahkan ketika diperlakukan enggak adil. Bahkan saat hak dasar mereka dilucuti.

Padahal penderitaan struktural bukan takdir. Itu hasil dari sistem sosial yang timpang. Tapi ketika ceramah lebih fokus ke akhirat dan bukan solusi dunia, orang-orang makin pasrah dan berhenti nuntut perubahan.

Ruang Kritik yang Mati

Tokoh agama di Indonesia nyaris disakralkan. Apa yang mereka bilang dianggap kebenaran mutlak. Tapi siapa yang berani kritik? Bahkan kalau ucapannya enggak masuk akal sekalipun, tetap diterima. Karena masyarakat kita diajarin dari kecil buat nurut, bukan mikir.

Enggak ada ruang buat diskusi. Apalagi buat nanya balik. Dan ketika kritik dianggap sama dengan melawan iman, maka kesalahan akan terus jalan tanpa hambatan. Bukan karena enggak kelihatan, tapi karena dianggap enggak boleh disentuh.

Efek Domino: Generasi Religius Tapi Rentan

Akibatnya? Tumbuh generasi yang religius secara simbolik, tapi rapuh secara ekonomi. Mereka baik, tapi gampang ditipu. Semua karena sistem keagamaannya lebih fokus ke moralitas daripada empowerment.

Padahal zaman makin rumit. Biaya hidup naik, pekerjaan makin sulit. Tapi masyarakat masih dikasih ceramah yang itu-itu aja. Enggak ada strategi hidup. Enggak ada rencana jangka panjang. Yang ada cuma harapan bahwa rezeki bakal datang asal cukup zikir.

Ulang dari Awal: Gimana Harusnya?

Agama seharusnya membebaskan, bukan membatasi. Menyemangati, bukan meninabobokan. Ustaz, pendeta, romo, dan semua tokoh agama harus mulai bicara tentang realitas, bukan cuma idealitas. Bahas soal gaji UMR, bukan cuma soal surga. Bahas strategi keluar dari utang, bukan cuma larangan iri hati.

Kalau tokoh agama bisa turun ke ranah praktis, bantu masyarakat ngatur hidup, kasih edukasi finansial, bantu mereka bangun kesadaran kritis—barulah agama jadi kekuatan perubahan. Bukan sekadar penenang di tengah krisis.

Kemiskinan di Indonesia enggak cuma soal kurang uang. Tapi juga soal narasi yang dimasukkan ke kepala orang sejak kecil. Narasi yang mengajarkan diam. Yang membungkam keberanian. Yang bikin orang takut nanya dan akhirnya cuma bisa menunggu keajaiban turun dari langit.

Sampai narasi itu diubah, sampai tokoh agama mau buka ruang diskusi, dan sampai masyarakat dikasih alat buat mikir, maka sabar dan ikhlas akan tetap jadi dua kata paling sering dipakai… untuk melanggengkan ketimpangan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *