Budaya Cicilan untuk Gaya Hidup Membuat Orang Tambah Miskin

Finansial9 Views

Pernah nggak kepikiran kenapa orang-orang yang hidupnya pas-pasan justru sering terjebak dalam budaya cicilan? Dari motor, kulkas, sampai kasur, semuanya dicicil. Tapi cerita di balik itu jauh lebih kompleks dari sekadar “biar kelihatan punya”. Bukan karena mereka nggak ngerti risiko cicilan, tapi lebih ke kondisi yang bikin mereka merasa itu satu-satunya jalan keluar.

Tawaran cicilan ringan datang tanpa perlu agunan, prosesnya cepat, syaratnya gampang, bahkan kadang langsung disodorkan ke pintu rumah.

Buat sebagian orang, cicilan bukan cuma soal beli barang. Tapi juga tentang rasa berharga. Ketika hidup terus dihantui kekurangan, bisa bawa pulang barang baru walau cuma dengan DP kecil itu kayak hadiah kecil yang menenangkan. Rasa rendah diri akibat kemiskinan bisa sedikit terobati karena punya sesuatu yang bisa dipamerkan—meski harus dicicil bertahun-tahun.

Sayangnya, promosi yang masif dan sistematis dari industri pembiayaan makin memperparah situasi. Produk kredit ditawarkan ke masyarakat bawah bukan buat bantu mereka keluar dari jerat kemiskinan, tapi justru buat meraup untung dari kebingungan dan tekanan psikologis mereka. Fokus mereka bukan nasabah yang mampu bayar dengan sehat, tapi mereka yang terpaksa terus bayar bunga karena nggak sanggup melunasi pokok pinjaman.

Yang bikin sedih, masyarakat miskin jarang punya kesempatan buat memahami cara kerja sistem keuangan. Pendidikan formal kita bahkan nggak ngajarin hal-hal praktis kayak cara ngatur keuangan, bedain utang konsumtif dan produktif, atau menghitung bunga. Akibatnya, banyak yang ambil cicilan hanya karena nominal bulannya kelihatan murah, tanpa tahu ada biaya tambahan yang tersembunyi.

Di sisi lain, tekanan sosial dan kebutuhan hidup yang mendesak juga bikin mereka nggak punya waktu buat mikir panjang. Pilihan-pilihan sulit datang setiap hari: bayar kontrakan atau beli beras? Bayar listrik atau uang sekolah anak? Dalam kondisi kayak gini, keputusan finansial seringkali diambil bukan karena logika, tapi karena kelelahan mental.

Satu hal yang sering dilupakan: kemiskinan bukan cuma tentang penghasilan yang kecil, tapi juga soal kondisi psikologis yang nggak pernah benar-benar pulih. Dalam tekanan terus-menerus, orang jadi cenderung impulsif. Bukan karena nggak pintar, tapi karena daya pikir jangka panjangnya jadi tumpul. Bayangkan harus mikir soal bunga cicilan, padahal buat makan hari ini aja belum tentu cukup.

Ironisnya, pemerintah dan sistem pendidikan masih cuek. Nggak ada dorongan serius buat literasi finansial, terutama untuk kelompok yang paling rentan. Di tengah gempuran iklan pinjol, leasing, dan paylater, masyarakat miskin dibiarkan belajar sendiri. Ujung-ujungnya, mereka makin tenggelam dalam siklus utang yang sulit diputus.

Yang lebih menyakitkan lagi, sistem kredit konsumtif ini sering kali disamarkan sebagai “aksesibilitas finansial”. Padahal ini bukan bantuan. Ini perangkap. Produk finansial konsumtif lebih mudah diakses daripada kredit produktif yang bisa dipakai buat modal usaha. Jadi bukan solusi buat naik kelas, tapi cara licik buat menjaga mereka tetap di bawah.

Nggak sedikit perusahaan pembiayaan yang operasinya abu-abu, bahkan ilegal, tapi tetap dibiarkan tumbuh karena dianggap mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Padahal kalau dicermati, pertumbuhan yang dibangun di atas utang konsumtif tanpa peningkatan pendapatan tetap itu nggak sehat sama sekali.

Ada ketimpangan yang sengaja dipelihara. Lembaga-lembaga kredit tahu persis siapa target yang gampang disasar: mereka yang nggak punya pilihan lain selain gali lubang, tutup lubang. Kalau gagal bayar? Teror, intimidasi, bahkan ancaman fisik jadi metode penagihan.

Jadi kalau mau ngerti kenapa orang miskin hidupnya penuh cicilan, jangan cuma lihat isi dompetnya. Lihat juga beban mentalnya. Banyak dari mereka ambil keputusan bukan karena pengin punya, tapi karena pengin ngerasa cukup—meski cuma sebentar. Dan itu bukan salah mereka sepenuhnya, karena sistem yang ada memang membiarkan hal itu terus terjadi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *