Tren Berhutang Demi Gengsi dan Gaya Hidup

Finansial12 Views

Kalau di masyarakat kita, miskin itu bukan cuma soal isi dompet yang tipis, tapi sudah jadi aib yang bikin orang sungkan sampai takut ngaku kalau lagi susah. Yang aneh, utang justru sering dianggap hal yang wajar, bahkan kadang dihargai lebih daripada jujur bilang lagi kere. Banyak yang lebih milih tutup lubang dengan utang daripada terlihat susah di mata orang lain.

Stigma kemiskinan itu tertanam kuat di lingkungan sosial kita. Kalau kamu datang ke acara keluarga, orang malah jarang tanya kabar, tapi langsung nanya soal kerjaan, status nikah, atau rumah. Padahal, seharusnya kita lebih peduli bantu daripada cepat nge-judge. Tapi kenyataannya, orang malah lebih cepat ngasih label dibanding kasih solusi.

Banyak orang sampai rela hidup di atas kemampuan, beli barang yang sebenarnya enggak butuh, demi jaga citra. Utang jadi alat pelindung dari malu, supaya tetap terlihat normal dan diterima. Dengan utang, mereka bisa bayar cicilan, sewa barang mewah, atau gaya hidup yang sesuai ekspektasi. Karena di masyarakat kita, sukses itu harus tampak dari luar, bukan dari proses perjuangannya.

Self stigma, yaitu saat seseorang sudah menghakimi dirinya sendiri karena miskin, juga bikin parah. Kalau sudah percaya miskin itu aib, dia akan sembunyiin masalahnya dan berusaha keras menutupi luka itu. Akhirnya, bukan cuma masalah keuangan yang jadi beban, tapi juga rasa malu yang bikin susah minta tolong. Di sini, utang bukan cuma soal pinjaman, tapi jadi pelindung harga diri yang rapuh.

Di lingkungan sosial, identitas bukan cuma milik pribadi, tapi alat ukur martabat. Makanya, banyak orang yang bertahan dengan topeng kesuksesan, meskipun keadaan sebenarnya jauh dari kata baik. Mereka takut kehilangan muka, takut dianggap gagal, makanya lebih milih ngutang daripada jujur bilang lagi kesulitan.

Status anxiety atau kecemasan soal posisi sosial juga berperan besar. Ini bukan cuma takut kalah atau ketinggalan, tapi takut kehilangan nilai di mata orang lain. Bahkan kalau kondisi finansial sudah cukup, tapi kalau gak bisa tampil “sukses” sesuai standar sosial, rasa gagal itu tetap datang.

Di akhir hari, orang lebih malu ngaku miskin daripada ngaku punya utang. Utang bisa dibungkus cerita perjuangan, usaha buat masa depan, tapi miskin itu langsung dianggap gagal. Karena di sini, yang dihargai bukan proses berjuang, tapi hasil akhir yang kelihatan. Jadi banyak orang lebih memilih pura-pura sudah sampai garis finish daripada jujur kalau masih berlari di tengah jalan.

Ini bukan cuma soal boros atau gaya-gayaan, tapi tentang bertahan hidup secara psikologis di masyarakat yang suka menghakimi berdasarkan isi rekening dan gaya hidup. Dan yang paling tragis, bukan cuma sistem sosial yang menghakimi, tapi kita sendiri yang sudah menghakimi diri sendiri duluan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *