Pernah nggak ngerasa kayak hidup ini lagi dikejar-kejar target yang entah siapa yang bikin? Harus nikah sebelum 30, punya rumah, punya mobil, terus punya anak. Kalau belum, dianggap belum dewasa. Padahal, hidup orang beda-beda kan? Tapi anehnya, kita semua kayak udah di-setting buat ngejar hal yang sama.
Fenomena ini bukan hal baru. Standar-standar soal “mapan” itu udah dibentuk dari dulu banget. Bahkan negara ikut andil ngatur kayak gimana seharusnya kehidupan ideal. Di masa Orde Baru, misalnya, pemerintah promosiin banget gaya hidup keluarga harmonis: suami kerja, istri di rumah, punya dua anak, tinggal di rumah sendiri. Pola ini bukan sekadar imbauan, tapi semacam cetak biru buat warga negara yang “baik”.
Yang lebih ngeri, sekarang masyarakatnya sendiri yang justru jadi penjaga standar itu. Orang tua nuntut anaknya segera nikah dan punya rumah. Tetangga mulai nyinyir kalau umur udah 30 tapi belum nikah. Bahkan teman sendiri bisa ikutan ngejudge. Tanpa sadar, kita semua saling kontrol, kayak polisi sosial yang gak resmi tapi bikin stres.
Nggak berhenti sampai situ, media massa juga ikut berperan besar dalam ngebentuk narasi ini. Iklan KB zaman dulu, sinetron, dan pesan-pesan pembangunan di TV itu semuanya ngedorong satu hal: hidup tertib dan terlihat mapan. Jadi nggak heran kalau sekarang banyak orang ngerasa belum lengkap hidupnya kalau belum nikah atau belum punya rumah, padahal belum tentu itu yang mereka butuhin.
Yang paling kena tekanan biasanya sih laki-laki. Dari kecil udah diajarin jadi pencari nafkah utama. Harus kuat, nggak boleh lemah, apalagi gagal. Kalau belum punya rumah dan belum nikah, dianggap belum sukses sebagai laki-laki. Sayangnya, ekspektasi ini sering bikin mereka jalanin hidup yang bukan pilihan sendiri, tapi tuntutan lingkungan. Dan ketika gagal, bukan cuma harga diri yang kena, tapi juga mental. Stres, frustasi, bahkan depresi jadi risiko yang nyata.
Perempuan juga nggak kalah berat bebannya. Mereka sering dianggap penentu kehormatan keluarga. Harus bisa menjaga citra, tampil rapi, dan siap menikah muda. Kalau belum nikah dianggap kurang laku, dan kalau lebih milih karier, malah disudutkan. Padahal bisa aja dia punya ambisi dan mimpi besar. Tapi karena tekanan sosial, perempuan seringkali harus ngalah dan nurutin skenario hidup yang udah disiapin sejak kecil.
Tragisnya, sebagian dari kita udah ngerasa standar itu benar adanya. Nggak ada lagi ruang buat nanya, “kenapa harus begini?”, “kenapa harus nikah?”, atau “kenapa punya rumah jadi syarat sukses?”. Semua terasa otomatis. Ini yang disebut internalisasi. Orang-orang nggak lagi ngejalanin karena dipaksa, tapi karena percaya itu satu-satunya jalan hidup yang benar.
Padahal, konteks zaman udah jauh berubah. Biaya hidup makin tinggi, gaji stagnan, dan stabilitas kerja nggak seperti dulu. Tapi anehnya, standar kemapanan masih kayak zaman dulu. Banyak yang maksain ambil KPR padahal gaji belum cukup. Kredit mobil hanya buat dianggap “layak”. Nikah buru-buru cuma supaya nggak dicibir. Semua demi validasi dari lingkungan.
Budaya mapan kayak gini sebenarnya udah saatnya dikritisi. Hidup itu bukan soal checklist punya ini-itu, tapi tentang gimana kita bisa bahagia dan hidup sesuai nilai sendiri. Mapan itu bukan hasil, tapi proses. Bukan tentang rumah atau mobil, tapi tentang bisa ambil keputusan tanpa takut dikomentari orang lain.
Sebagai generasi sekarang, kita perlu buka ruang buat definisi sukses yang lebih fleksibel. Nggak semua orang pengin atau mampu ngejar standar lama. Dan itu bukan berarti gagal. Kadang, hidup sederhana dengan hati tenang jauh lebih bermakna daripada hidup penuh pencapaian tapi penuh tekanan.
Jadi, mungkin sekarang saatnya berhenti ngejar hidup versi orang lain. Mulai dengerin diri sendiri, dan kalau memang beda, itu sah-sah aja. Karena mapan seharusnya bukan seragam, tapi personal.