Cari Kerja di Indonesia Susah, Apalagi Cari Uang?

Finansial6 Views

Banyak orang bilang yang penting niat dan usaha, tapi kenyataannya enggak sesederhana itu. Faktanya, banyak banget anak muda yang udah usaha mati-matian, tapi tetap aja mentok. Bukan karena mereka enggak punya semangat, tapi sistemnya yang bikin frustasi.

Satu hal yang bikin banyak orang nyerah adalah syarat kerja yang makin lama makin absurd. Banyak perusahaan nyari orang yang bisa segalanya—dari ngedit video sampai ngerti Excel, dari urus media sosial sampai paham desain. Tapi gajinya? Kadang malah di bawah UMR. Udah kayak beli mobil sport, tapi mau bayar cicilan motor.

Masalah lainnya, banyak banget lulusan baru yang langsung dihadapkan sama kenyataan pahit. Baru lulus, udah diminta pengalaman kerja. Lah, gimana caranya dapat pengalaman kalau kerja aja belum pernah? Saingannya ribuan, kursinya cuma satu.

Terus, buat yang tinggal di daerah, situasinya bisa lebih parah. Industri terbatas, pilihan kerja juga sempit, dan akses buat nyari lowongan kadang cuma dari mulut ke mulut. Enggak heran banyak yang akhirnya hijrah ke kota, berharap nasibnya lebih baik. Tapi kota juga udah sesak, dan akhirnya malah nambah panjang antrean pengangguran.

Lucunya, meskipun teknologi terus maju dan banyak peluang kerja baru bermunculan, sayangnya tenaga kerja kita belum sepenuhnya siap.

Belum lagi tren outsourcing dan kerja freelance yang sekarang makin marak. Perusahaan senang karena bisa hemat biaya, tapi buat pekerja, ini seringkali berarti enggak ada kepastian. Kontrak enggak jelas, tunjangan enggak ada, dan kadang gaji pun telat. Udah kerja keras, tapi tetap enggak aman.

Di sisi lain, yang punya koneksi dan kenalan di dalam perusahaan kadang lebih gampang dapat kerja. Ada lowongan yang bahkan enggak pernah diumumkan ke publik, tapi langsung dikasih ke orang dalam. Sementara yang enggak punya jaringan, cuma bisa andelin aplikasi online yang ribet dan kadang juga zonk.

Pemerintah sih sering ngomong soal bonus demografi dan pertumbuhan ekonomi, tapi kenyataan di lapangan enggak seindah itu. Setiap tahun jumlah angkatan kerja terus naik, tapi lapangan kerja enggak berkembang secepat itu. Akhirnya banyak yang kerja serabutan atau banting setir ke jalur freelance dan usaha kecil-kecilan, bukan karena itu cita-citanya, tapi karena enggak ada pilihan lain.

Yang bikin miris, banyak orang masih mikir kalau nganggur itu salahnya individu, bukan sistem. Seakan-akan yang gagal itu orangnya, padahal yang salah itu struktur sosial dan ekonomi yang enggak ngasih ruang buat semua berkembang. Ujung-ujungnya, yang ada cuma rasa frustasi dan makin rendahnya kepercayaan diri anak muda.

Terus gimana? Ya, harusnya perubahan dimulai dari sistem. Pendidikan perlu disesuaikan sama kebutuhan dunia kerja. Proses rekrutmen harus lebih transparan dan adil. Dan tentu saja, harus ada pemerataan akses informasi, pelatihan, dan jaringan. Karena sekarang bukan cuma soal siapa yang pintar, tapi siapa yang punya kesempatan.

Nyari kerja seharusnya jadi proses awal buat membangun masa depan, bukan sumber stres tiap hari. Tapi selama sistemnya masih timpang, bakal terus ada yang tertinggal. Jadi, ini bukan cuma PR buat individu, tapi tanggung jawab bersama. Kalau enggak berubah, jangan heran kalau anak muda makin apatis dan mimpi punya karir yang layak cuma jadi angan-angan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *