Kenapa Masih Banyak Keluarga Miskin yang Pilih Punya Banyak Anak?

Edukasi8 Views

Di desa atau komunitas dengan penghasilan minim, anak sering dianggap sebagai “aset hidup”. Nggak heran kalau makin banyak anak, dianggap makin banyak tangan yang bisa bantu ekonomi keluarga. Dari bantuin jualan kecil-kecilan sampai pekerjaan rumah, semua jadi lebih ringan kalau ada anak-anak yang bisa diajak kerja. Apalagi di tempat-tempat yang masih mengandalkan tenaga fisik buat bertahan hidup.

Buat sebagian keluarga, punya banyak anak juga dianggap sebagai “investasi masa depan.” Harapannya, nanti saat orang tua udah nggak produktif, anak-anak bisa jadi penopang hidup. Karena sistem jaminan sosial belum kuat, anak jadi “asuransi” hari tua. Tapi di sisi lain, ketika anak terus bertambah, pendidikan mereka malah makin dikorbankan. Gizi nggak terpenuhi, akses sekolah terbatas, dan potensi mereka pun mandek di tengah jalan.

Bukan cuma itu, di beberapa daerah, jumlah anak malah jadi simbol kesuksesan dalam keluarga. Bukan soal sanggup atau nggaknya membesarkan anak, tapi lebih ke soal kebiasaan yang sudah dianggap wajar secara sosial. Makanya, meskipun kondisi ekonomi makin sulit, masih ada anggapan bahwa “anak itu pembawa rezeki.” Padahal kenyataannya, beban ekonomi keluarga jadi makin berat.

Kalau ngomongin perempuan dalam keluarga berpenghasilan rendah, masalahnya bisa jauh lebih rumit. Di banyak kasus, perempuan nggak punya cukup kendali atas keputusan besar dalam rumah tangga, termasuk soal jumlah anak. Mereka sering ditempatkan dalam peran domestik, tanpa kesempatan mengembangkan diri atau mandiri secara finansial. Parahnya lagi, kerja di luar rumah kadang dianggap menyimpang dari peran ideal sebagai ibu rumah tangga. Ini bikin posisi perempuan makin sempit dan penuh tekanan.

Belum lagi soal akses pendidikan. Dari kecil, banyak anak perempuan yang lebih didorong buat urusan rumah dibanding belajar tinggi-tinggi. Akibatnya, saat dewasa mereka nggak punya cukup bekal buat negosiasi hak atau keputusan hidup. Siklusnya pun terus berulang. Dan ketika perempuan nggak diberi ruang buat berkembang, ya susah harap ada perubahan yang signifikan dalam keluarga atau komunitasnya.

Satu hal yang juga jadi akar masalah adalah minimnya edukasi soal kesehatan reproduksi dan perencanaan keluarga. Banyak orang nggak tahu secara detail gimana tubuh bekerja, apa konsekuensi dari hubungan antar individu, dan pentingnya perencanaan sebelum berkeluarga.

Kondisi ini diperparah dengan pemahaman fatalistik yang kuat di banyak keluarga miskin. Mereka merasa enggak punya kuasa atas hidupnya sendiri, dan pada akhirnya menjadikan kehadiran anak sebagai satu-satunya harapan baru. Niatnya sih baik, tapi tanpa akses pada edukasi dan peluang hidup yang lebih baik, keputusan ini justru bisa memperkuat rantai kemiskinan.

Siklusnya jelas. Ini bukan cuma karena usaha pribadi yang kurang, tapi juga karena sistem sosial dan ekonomi yang memang nggak kasih jalan buat naik kelas. Kesadaran soal siklus ini masih rendah. Padahal realitanya lebih kompleks dari itu.

Pemerintah dan sistem pendidikan pun seringkali gagal kasih bekal yang cukup buat masyarakat memahami realitas hidupnya. Edukasi soal perencanaan hidup masih dianggap urusan orang kota. Padahal justru kelompok rentan yang paling butuh informasi semacam ini. Tanpa bekal ini, mereka nggak tahu bahwa hidup bisa dirancang dan keputusan soal keluarga bisa diambil dengan kesadaran penuh, bukan sekadar ikut kebiasaan.

Yang jadi ironi, di tengah keterbatasan akses dan informasi, banyak keluarga miskin justru nggak pernah diberi kesempatan buat tahu bahwa ada pilihan lain. Tapi tanpa dukungan dari sistem yang adil dan inklusif, semua itu cuma jadi wacana. Perubahan nyata baru bisa terjadi kalau negara benar-benar hadir, bukan sekadar kampanye tahunan yang formalitas belaka.

Akhirnya, persoalan ini bukan sekadar soal “kenapa mereka punya banyak anak”, tapi lebih dalam dari itu. Ini soal siapa yang punya kuasa atas hidupnya sendiri, siapa yang diberi ruang buat paham, dan siapa yang disisihkan dari sistem. Kalau nggak ada perubahan besar dalam pendekatan negara terhadap isu ini, maka anak-anak dari keluarga miskin akan terus dilahirkan ke dalam lingkaran masalah yang sama.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *