Meritokrasi di Indonesia bukanlah fondasi sosial, melainkan dekorasi. Ia dipajang di seminar, dikutip dalam pidato, dan dijadikan slogan lembaga publik, tetapi tidak benar-benar berfungsi sebagai mekanisme keadilan. Kenyataan paling pahit adalah: yang bekerja keras tidak selalu naik, yang paling mampu tidak selalu menang, dan yang paling pantas sering tersingkir oleh mereka yang sudah menang sejak lahir.
Karena itu, sebelum bicara motivasi atau kerja keras, perlu terlebih dahulu memahami struktur sosial yang sudah timpang sejak awal. Tanpa kesadaran ini, masyarakat hanya akan menyalahkan diri sendiri atas kegagalan yang bukan sepenuhnya kesalahan pribadi.
Ketidaksetaraan Peluang Berdasarkan Privilege Keluarga
Di Indonesia, keberhasilan sering dikaitkan dengan usaha pribadi. Namun realitasnya, arena pertandingan tidak pernah dimulai dari garis start yang sama. Ada yang bertanding dengan lintasan mulus dan dukungan penuh, sementara yang lain bahkan tidak memiliki sepatu untuk mulai berlari.
Sistem sosial berjalan dalam mekanisme yang tidak terlihat, tetapi sangat menentukan:
- jaringan keluarga,
- relasi kuasa,
- akses pendidikan,
- dan posisi sosial yang diwariskan.
Inilah mengapa meritokrasi hanya tampak indah di buku teori, tetapi rapuh ketika bersentuhan dengan kondisi nyata di lapangan.
Orang Dalam dan Budaya Patronase yang Dinormalisasi
Di publik, nepotisme dicela. Namun di ruang tertutup, ia justru menjadi logika umum yang jarang ditolak. Istilah “orang dalam” telah dilembutkan menjadi kalimat-kalimat yang tampak rasional seperti:
“Sudah dipercaya sejak lama.”
“Memang sudah dekat dari dulu.”
“Lebih nyaman bekerja dengan orang yang dikenal.”
Padahal makna aslinya sederhana: kompetensi bukan prioritas utama; kedekatanlah yang membuka pintu peluang.
Fenomena ini tidak berdiri sendiri. Ia ditopang oleh budaya patronase—hubungan atasan-bawahan yang berbasis loyalitas personal, bukan profesionalisme. Orang yang patuh akan dilindungi. Yang kritis akan disingkirkan.
Dalam lingkungan seperti ini, meritokrasi tidak lebih dari ornamen moral untuk menutupi praktik ketidakadilan.
Dampak Meritokrasi Palsu terhadap Generasi Muda
Ketika anak muda melihat bahwa kompetensi tidak dihargai, motivasi untuk berkembang pun runtuh. Mereka akhirnya mengambil jalan yang dianggap realistis: membangun kedekatan, mencari akses, mengikuti arus kekuasaan.
Beberapa mulai menerima praktik curang kecil sebagai “kebutuhan”. Yang lain belajar bahwa moralitas tidak berfungsi dalam sistem yang memprioritaskan kedekatan dibanding kemampuan. Keadilan sosial perlahan direduksi menjadi transaksi sosial.
Hierarki Lama dengan Wajah Baru: Feodalisme Modern dalam Dunia Pendidikan dan Birokrasi
Feodalisme tidak hilang. Ia hanya berganti kostum. Jika dahulu status ditentukan oleh darah bangsawan, kini ia ditentukan oleh:
- jabatan orang tua,
- koneksi ke pejabat,
- reputasi keluarga,
- atau kepemilikan modal besar.
Rasa hormat bukan lahir dari kualitas kerja, tetapi dari nama belakang atau posisi. Kritik dianggap kurang ajar, kreativitas dipandang sebagai ancaman, dan inovasi dianggap tidak sopan jika melampaui batas yang ditetapkan atasan.
- Di sekolah, murid diajarkan untuk patuh sebelum diajarkan untuk berpikir.
- Di kantor, staf diminta tunduk sebelum diminta berkinerja.
- Dalam politik, kursi diwariskan, bukan diperebutkan melalui ide.
Semua itu membentuk sistem yang sangat sulit ditembus oleh mereka yang hanya mengandalkan kemampuan.
Realitas Sosial Meritokrasi yang Timpang
Meskipun Indonesia mempromosikan kompetensi sebagai dasar seleksi, praktiknya jauh berbeda. Proses administrasi yang rumit, wawancara formal, dan tes objektif hanya menjadi panggung. Hasilnya dapat ditebak jauh sebelum proses dimulai.
Seorang kandidat bisa mencetak nilai tertinggi, memiliki rekam jejak terbaik, tetapi tetap kalah karena tidak memiliki akses ke lingkaran yang menentukan. Meritokrasi akhirnya hanya menjadi narasi yang menyamarkan struktur sosial yang sudah dikunci oleh kepentingan-kepentingan tertentu.
Mengapa Ketidakadilan Sistemik Jarang Dilawan
Banyak yang mengetahui sistem ini tidak adil, tetapi memilih diam. Mengapa? Karena protes sering berarti risiko kehilangan peluang di masa depan.
- Diam menjadi bentuk bertahan hidup.
- Kompromi menjadi strategi adaptasi.
- Dan ketidakadilan berubah menjadi kebiasaan sosial.
Selama sistem ini dianggap wajar, keadilan tidak memiliki ruang tumbuh.
Pada akhirnya meritokrasi Indonesia beroperasi bukan berdasarkan kerja keras, tetapi berdasarkan keuntungan awal. Struktur sosial melindungi mereka yang sudah memiliki akses, sementara yang lahir tanpa privilege harus berjuang berkali-kali lipat hanya untuk sekadar dilihat.
Konsep “asal mau usaha pasti bisa” kehilangan makna bukan karena usaha tidak penting, tetapi karena arena permainannya tidak dirancang untuk adil sejak awal.
Masa Depan Meritokrasi dalam Struktur Sosial Indonesia
Jika meritokrasi ingin menjadi kenyataan, bukan slogan, maka budaya patronase harus dibongkar, feodalisme modern harus dihadapi, nepotisme harus diakui, dan akses kesempatan harus merata.
Tanpa itu, meritokrasi akan tetap menjadi ilusi yang dipakai untuk menenangkan mereka yang tertindas, sambil melindungi mereka yang sudah berkuasa sejak awal.
Indonesia tampak modern dari luar, tetapi struktur sosialnya masih berjalan dengan logika lama: yang dekat dengan kekuasaan akan naik lebih cepat daripada mereka yang paling mampu.






