Fenomena Pernikahan Mewah di Indonesia: Antara Gengsi, Tekanan Sosial, dan Pengorbanan Ekonomi

Edukasi18 Views

Pesta pernikahan di Indonesia sering terlihat begitu megah. Namun, ironinya justru sering terasa setelah lampu-lampu dekorasi padam, ketika keluarga harus menanggung utang atau kehilangan aset. Sebagian orang mungkin menyebutnya “momen sekali seumur hidup”, tetapi di balik itu, ada strategi menjaga gengsi keluarga yang lebih penting daripada sekadar kenyamanan finansial.

Harga Diri Keluarga Dipertaruhkan Lewat Pesta Pernikahan Mewah

Bayangkan pesta pernikahan bukan lagi perayaan privat, melainkan panggung raksasa tempat keluarga dipaksa mempertontonkan status sosial. Dari dekorasi, jumlah tamu undangan, hingga hidangan katering, semuanya diperlakukan seperti properti pertunjukan. Kehormatan keluarga seakan-akan hanya sah bila pesta dinilai “layak” oleh para tamu. Maka tidak heran, banyak yang rela menjual sawah, tanah, bahkan rumah demi memastikan pesta terlihat sempurna.

Tekanan Sosial dan Norma yang Mengikat

Menariknya, keputusan untuk mengadakan pesta besar sering kali bukan murni keinginan keluarga inti. Ada tekanan norma sosial yang sulit ditolak. Jika pesta kecil, keluarga bisa dianggap pelit atau tidak menghargai tamu. Malu sosial bahkan lebih ditakuti daripada kehilangan harta benda. Norma ini bekerja seperti aturan tak tertulis: siapa pun yang berani melawan akan berisiko kehilangan muka di mata tetangga, saudara, bahkan tokoh masyarakat.

Perbandingan Sosial: Pesta Orang Lain Jadi Standar Baru

Fenomena gengsi ini makin kuat karena adanya social comparison. Orang tua menilai keberhasilan mereka dari seberapa besar pesta pernikahan anaknya dibandingkan orang lain. Semakin mewah, semakin dianggap sukses. Semakin sederhana, semakin dicap gagal. Persoalannya, selalu ada keluarga lain yang lebih heboh, lebih glamor, lebih mewah. Alhasil, terciptalah lingkaran setan: pesta yang satu memicu pesta lain semakin besar, tanpa pernah ada titik puas.

Modal Simbolik Lebih Berharga dari Modal Ekonomi

Pierre Bourdieu pernah menyebut istilah modal simbolik, yaitu kehormatan dan prestise yang bernilai sosial meski tak bisa diuangkan. Di Indonesia, pesta pernikahan besar dianggap sebagai investasi untuk modal simbolik ini. Keluarga yang sukses bikin hajatan megah akan dipandang lebih terhormat. Masalahnya, modal simbolik ini tidak bisa membayar cicilan rumah atau biaya sekolah anak. Hasilnya, martabat naik, tetapi ekonomi ambruk.

Cognitive Dissonance: Tahu Salah, Tapi Tetap Dilakukan

Lucunya, banyak keluarga sadar betul pesta besar bikin ekonomi goyah. Namun, mereka melakukan justifikasi agar lebih tenang secara batin. Misalnya, dengan kalimat, “Yang penting anak bahagia,” atau, “Ini momen sekali seumur hidup.” Rasionalisasi ini hanya jadi tameng psikologis untuk menutupi rasa bersalah. Sama seperti orang tahu merokok itu berbahaya tapi tetap merokok, keluarga pun tetap mengadakan pesta mewah walau tahu dampaknya berat.

Pesta Pernikahan Jadi Ajang Branding Sosial

Tidak sedikit keluarga memperlakukan pesta pernikahan seperti kampanye branding. Mereka ingin dikenal sebagai keluarga yang mampu, berkelas, dan patut dihormati. Undangan banyak, hiburan megah, hingga dekorasi mewah dianggap sebagai “portofolio sosial”. Branding ini dipercaya membuka akses relasi yang lebih luas: perjodohan, politik lokal, bahkan bisnis. Semua itu membuat pesta besar seolah-olah wajib, meskipun harus menukar tabungan dengan gengsi.

Pengorbanan Finansial yang Dianggap Wajar

Ujung dari semua ini adalah realita pahit: pesta pernikahan mewah di Indonesia seringkali dibayar dengan pengorbanan ekonomi besar. Setelah tamu pulang, keluarga masih harus hidup dengan cicilan, kehilangan aset produktif, atau terjebak dalam hutang. Tapi demi menjaga muka, semua itu dianggap wajar.

Antara Kebahagiaan dan Beban Sosial

Pada akhirnya, pernikahan di Indonesia jarang murni tentang cinta atau kebahagiaan pasangan. Ia adalah cermin bagaimana norma, gengsi, dan budaya malu lebih kuat daripada logika finansial. Selama masyarakat masih menilai martabat dari besarnya pesta, keluarga akan terus merasa wajib mengorbankan stabilitas hidup demi sebuah panggung sehari.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *