Ada hal menarik (dan agak menyedihkan) dari kebiasaan menikah di Indonesia—resepsi seringkali bukan tentang cinta, tapi tentang pembuktian. Mulai dari gedung mewah, ribuan tamu, makanan lima macam, sampai dekorasi super heboh. Semua demi “hari paling bahagia dalam hidup”. Tapi pertanyaannya: bahagia buat siapa?
Bukan rahasia lagi kalau banyak pasangan muda yang rela habis-habisan buat satu hari ini. Ada yang pakai tabungan habis, jual aset orang tua, bahkan sampai nekat pinjam ke bank atau aplikasi pinjaman online. Semua ini dilakukan demi terlihat sukses di mata orang lain. Setelah pestanya selesai, barulah terasa pahitnya: rekening kosong, utang mulai jatuh tempo, dan hidup bersama pun dimulai dari titik minus.
Yang sering terlupa, menikah itu bukan garis akhir, tapi justru titik start. Justru setelah akad dan pesta, hidup bareng dimulai dengan segala keribetannya. Mulai dari biaya sewa tempat tinggal, tagihan listrik, makan sehari-hari, sampai kebutuhan darurat yang bisa muncul sewaktu-waktu. Dan di titik ini, pasangan sering sadar: “ternyata hidup bareng itu lebih mahal dari yang dibayangin.”
Tekanan bukan cuma datang dari keinginan pribadi. Keluarga besar pun kadang ikut memberi “kontribusi” berupa ekspektasi tinggi. Mau nikah sederhana? Dibilang pelit. Pilih akad aja? Dibilang enggak sopan. Mau undang tamu terbatas? Dicap memalukan keluarga. Tapi anehnya, saat minta bantuan dana, semua mendadak pasang muka kosong.
Yang lebih bikin miris, ekspektasi sosial sering datang tanpa solusi nyata. Banyak yang ngomong harus begini, harus begitu, tapi ketika udah pusing sendiri cari biaya, semua orang diam. Di sinilah budaya gengsi benar-benar jadi racun. Pasangan akhirnya lebih takut dibilang “enggak layak” daripada mikirin kelangsungan finansial jangka panjang.
Ironisnya, banyak pasangan muda yang percaya mitos kalau menikah itu akan membuat hidup lebih ringan karena ada dua penghasilan. Kenyataannya? Justru beban hidup bisa dobel. Biaya makin banyak, pengeluaran makin sulit ditekan, dan gaya hidup pun harus disesuaikan. Dua orang dalam satu rumah artinya dua pola konsumsi yang bisa saling bertabrakan.
Ditambah lagi, sistem ekonomi kita memang kurang mendukung pasangan muda. Harga rumah melambung tinggi, kerjaan banyak yang statusnya kontrak, belum lagi biaya pendidikan dan kesehatan yang terus naik. Di tengah kondisi kayak gini, pasangan baru dituntut untuk mandiri, tapi fasilitas dan dukungan yang memadai masih minim.
Lebih parah lagi, sebagian besar dari kita masih terjebak dalam konstruksi sosial yang menempatkan pernikahan sebagai simbol kesuksesan. Jadi bukan soal siap atau enggaknya seseorang membangun rumah tangga, tapi lebih ke “apa kata orang kalau belum nikah?”. Banyak yang akhirnya menikah bukan karena cinta, tapi karena dikejar umur, tekanan dari keluarga, atau sekadar ingin terlihat “sudah mapan”.
Sialnya, semua itu justru jadi pintu masuk ke dalam jurang kemiskinan yang dibungkus dengan pesta megah. Karena setelah semua tamu pulang, yang tersisa hanya dua orang yang harus menata hidup dari awal, sambil membawa beban utang dan ekspektasi yang enggak kunjung reda.
Dan satu hal penting yang sering terlupa: menikah bukan cuma tentang dua orang yang saling cinta. Tapi juga soal kesiapan mental dan finansial, soal komunikasi dan kompromi, soal bagaimana membangun masa depan dari pondasi yang kuat. Tapi kalau semua itu digeser demi gengsi, bisa-bisa cinta aja enggak cukup buat bertahan.
Pada akhirnya, kalau budaya kita enggak berubah—kalau kita masih menilai kesuksesan pernikahan dari mewahnya resepsi, banyaknya tamu, atau meriahnya pesta—maka pernikahan akan terus jadi jebakan. Bukan awal bahagia, tapi awal dari masalah baru yang panjang.