Hari raya Idul Fitri memang identik dengan kebersamaan. Namun di balik suasana hangat keluarga, terdapat ajang sosial tak tertulis: siapa yang punya mobil baru, siapa yang sudah sukses kerja, hingga siapa yang memegang gadget terbaru.
Lebaran sebagai Ajang Sosial, Bukan Sekadar Silaturahmi
Fenomena sewa iPhone saat Lebaran muncul dari pola perbandingan sosial ini. Bagi sebagian orang, iPhone bukan hanya ponsel, melainkan statement bahwa dirinya “berkelas” di mata keluarga atau teman lama.
Social Comparison: Membandingkan Diri Lewat Gadget
Dalam psikologi sosial, ada istilah social comparison theory, yaitu kecenderungan manusia menilai diri dengan membandingkan hidupnya ke orang lain. Saat melihat saudara membawa iPhone 14 Pro Max, otomatis muncul rasa minder atau ingin setara. Sayangnya, banyak yang memilih jalan pintas: menyewa iPhone sehari. Dengan begitu, mereka bisa ikut tampil “setara” tanpa harus membeli unit asli.
Impression Management: Takut Dinilai Biasa-biasa Saja
Fenomena ini makin jelas ketika dikaitkan dengan impression management – usaha seseorang mengontrol bagaimana ia dipersepsikan orang lain. Lebaran adalah panggung besar: ada keluarga besar, tetangga, bahkan orang lama yang sudah jarang bertemu. Tekanan sosial membuat orang sewa iPhone, lebih untuk menjaga citra dan menghindari rasa malu, bukan untuk fungsi nyata.
The Looking Glass Self: Identitas Berdasarkan Pandangan Orang Lain
Menurut teori looking glass self, kita membangun identitas diri dari bagaimana kita percaya orang lain melihat kita. Di Indonesia, iPhone sudah ditempatkan sebagai simbol kesuksesan. Artinya, membawa iPhone di hari raya membuat pemiliknya otomatis dianggap mapan. Sebaliknya, memakai HP “biasa” sering dikaitkan dengan citra kelas bawah. Dari sinilah muncul motivasi untuk menyewa gadget agar harga diri sosial tetap terjaga.
Scarcity & Budaya Konsumtif: Kenapa iPhone Jadi Target?
Harga iPhone di Indonesia jauh lebih mahal daripada di luar negeri. Justru inilah yang meningkatkan nilai gengsi. Budaya konsumtif dan status simbol di Indonesia sudah lama memposisikan produk mahal sebagai penanda kelas sosial. Dari mobil Eropa, restoran mewah, hingga HP keluaran Apple — semuanya adalah tanda visual untuk menunjukkan “level”. Wajar kalau permintaan sewa iPhone melonjak setiap menjelang Idul Fitri.
Validasi Sosial di Era Media Digital
Media sosial memperparah tren ini. Foto Lebaran bukan hanya disimpan di album keluarga, tapi dipamerkan di Instagram dan TikTok. Sebuah pose dengan outfit baru jadi terasa “kurang lengkap” tanpa iPhone di tangan. Apalagi, algoritma dunia digital membuat konten pameran barang mewah lebih sering viral. Hasilnya, orang merasa makin tertinggal jika tidak punya sesuatu untuk ditunjukkan.
Siklus Gengsi yang Tidak Pernah Usai
Fenomena iPhone hanyalah satu contoh. Tahun depan bisa jadi muncul tren lain—jam tangan branded, sneakers edisi terbatas, atau tas mewah. Selama standar sukses diukur dari apa yang terlihat, selalu ada tekanan untuk “tampil lebih”. Sayangnya, siklus ini bisa menguras finansial dan mental. Akar masalahnya bukan iPhone, melainkan budaya membuktikan diri lewat konsumsi barang mewah.
Refleksi di Balik Tren Sewa iPhone
Lebaran semestinya tentang spiritualitas, kebersamaan, dan momen refleksi. Namun dalam praktik, ia juga menjadi ajang status sosial di mana validasi lebih dihargai daripada keaslian. Fenomena sewa iPhone saat Lebaran adalah cermin bagaimana komunitas kita masih banyak yang mengaitkan harga diri dengan benda.
Jika standar sosial tidak diubah, orang akan terus merasa kurang. Padahal, makna hari raya tidak pernah bergantung pada apa yang kita genggam, melainkan nilai yang kita bagikan.






