Mengapa Banyak Sarjana di Indonesia Gelarnya Jadi Sia-Sia: Ilusi Superioritas, Fixed Mindset, dan Mentalitas Entitled

Edukasi20 Views

Di banyak masyarakat Indonesia, gelar akademik sering dianggap sebagai lambang kehormatan. Tidak heran banyak sarjana berhenti belajar begitu wisuda karena merasa status “S1” sudah cukup untuk dihormati. Namun realitas dunia kerja jelas berbeda. Perusahaan tidak membayar status, melainkan kemampuan menghasilkan karya nyata. Akibat pola pikir status simbol ini, banyak sarjana berhenti berkembang, stagnan, dan akhirnya kesal ketika gaji atau posisi tidak sesuai ekspektasi.

Dunning-Kruger Effect: Merasa Pintar Padahal Tertinggal

Banyak lulusan kuliah datang ke dunia kerja dengan percaya diri berlebihan. Mereka mengira sudah tahu segalanya, padahal kompetensi praktis nyaris nihil. Inilah wujud nyata Dunning-Kruger Effect: semakin sedikit tahu, semakin besar rasa percaya diri. Sarjana dengan mentalitas ini cenderung menolak kritik, alergi masukan, dan enggan belajar ulang. Alhasil, di hadapan perubahan teknologi yang cepat, mereka malah semakin tertinggal.

Fixed Mindset: Ilmu dari Kampus Dianggap Cukup

Masalah lain yang menghambat karier adalah fixed mindset. Banyak sarjana percaya kemampuan adalah bakat bawaan yang tidak bisa diubah. Begitu lulus, mentalitas mereka berhenti di situ. Tidak ada lagi dorongan upgrade skill, meski industri terus berubah. Akibatnya, mereka kalah bersaing dengan lulusan “biasa saja” yang justru mau belajar lagi.

Mentalitas Entitled: Dunia Kerja Dianggap Berutang

Salah kaprah terbesar adalah mentalitas bahwa dunia kerja “berutang” pada sarjana. Ada keyakinan gelar otomatis memberi gaji tinggi atau posisi nyaman. Padahal realitanya, gelar hanya tiket masuk awal, bukan jaminan sukses. Ketika ekspektasi tidak sesuai kenyataan, muncullah rasa kecewa dan keluhan. Alih-alih instrospeksi, mereka sibuk menyalahkan sistem, perusahaan, atau pemerintah.

Cognitive Dissonance: Menolak Mengakui Kelemahan

Ketika fakta membuktikan bahwa skill mereka kurang relevan, banyak sarjana mengalami cognitive dissonance: benturan antara keyakinan dan realita. Sayangnya, alih-alih menerima kekurangan, mereka memilih menyangkal. Narasi seperti “perusahaan tidak adil”, “sistem kacau”, atau “butuh orang dalam” dijadikan tameng untuk menutupi fakta bahwa mereka malas upgrade skill. Akibatnya, lingkaran stagnasi terus berulang.

Budaya Membandingkan: Social Comparison yang Menyesatkan

Lingkungan sosial di Indonesia turut memperkuat masalah ini. Gelar sering dijadikan bahan pembanding di keluarga atau lingkaran pertemanan. Akibatnya muncul social comparison: merasa lebih tinggi dibanding yang pendidikannya rendah, tapi minder ketika bertemu yang lebih sukses. Energi pun habis untuk menjaga gengsi, bukan meningkatkan kualitas diri.

Solusi: Upgrade Skill dan Growth Mindset

Fenomena sarjana Indonesia gelar tidak berguna bukan karena pendidikannya salah, melainkan karena pola pikir salah kaprah. Dunia kerja saat ini lebih menghargai skill nyata: digital literacy, problem solving, komunikasi, kreatifitas, hingga adaptasi teknologi. Gelar memang penting, tapi hanya akan bernilai jika disertai kemampuan relevan.

Pentingnya upgrade skill untuk sarjana Indonesia tidak bisa ditawar. Kursus online, sertifikasi, pengalaman volunteer, atau sekadar praktik mandiri akan meningkatkan daya saing. Growth mindset—percaya diri bahwa kemampuan bisa dikembangkan—adalah kuncinya.

Gelar Hanya Awal, Bukan Akhir

Gelar sarjana seharusnya jadi fondasi awal untuk belajar lebih luas, bukan titik berhenti. Dunia kerja terus bergerak cepat, dan hanya mereka yang siap beradaptasi yang akan bertahan.

Jika masih terjebak dalam ilusi superioritas, fixed mindset, dan mentalitas entitled, maka wajar jika gelar hanya menjadi beban. Pada akhirnya, judul di balik nama bukan penentu, melainkan keterampilan yang nyata dibawa ke meja kerja.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *