Sulit menolak daya kharismatik pesantren di tengah perubahan zaman. Lembaga ini masih menjadi benteng nilai, tempat adab dan spiritualitas dijaga seperti pusaka. Tapi di balik citra agung itu, muncul perdebatan keras — apakah penghormatan pada kiai masih murni adab, atau sudah menjelma menjadi sistem kekuasaan moral yang meniru pola feodalisme sosial?
Ketika Hormat Jadi Hierarki: Wajah Ganda Dunia Pesantren
Pertanyaan itu menggelitik, sebab ia bukan soal benar atau salah, melainkan cara memandang ulang hubungan antara ilmu dan otoritas, antara tunduk dan berpikir. Bagi sebagian orang, ketaatan adalah bentuk penghormatan tertinggi. Namun bagi yang hidup di dunia pendidikan modern, sistem hierarkis di pesantren terasa terlalu kaku — seolah ruang dialog telah diselimuti sunyi yang tak boleh diusik.
Akar Historis: Dari Spirit Keilmuan ke Struktur Kekuasaan
Pesantren muncul jauh sebelum pendidikan formal mengenal kurikulum dan administrasi modern. Hubungan kiai dan santri dibangun di atas asas spiritual, bukan akademis. Kiai adalah sumber ilmu sekaligus panutan moral — sosok yang diyakini membawa keberkahan. Karena itulah, kepatuhan mutlak menjadi bagian dari cara menerima ilmu.
Namun, dari situ pula tumbuh bibit struktur vertikal: satu figur di puncak dengan pengaruh penuh, dan kelompok pengikut di bawahnya yang belajar untuk taat. Selama berabad-abad sistem ini dianggap suci karena lahir dari tradisi keagamaan. Tapi di tengah perubahan sosial, banyak yang mulai mempertanyakan: apakah pola ini masih relevan dalam konteks pendidikan modern yang menuntut kesetaraan?
Feodalisme Spiritual: Kekuasaan yang Tidak Pernah Diucapkan
Uniknya, kekuasaan di pesantren tidak dibangun dari paksaan, melainkan dari legitimasi moral. Kiai tidak perlu marah untuk ditaati — pandangan halus atau ucapan lembut saja sudah cukup membuat seluruh sistem bergerak. Inilah bentuk kekuasaan simbolik, soft power yang berjalan melalui kesadaran kolektif.
Di sini muncul istilah yang sering diperdebatkan para pengamat sosial: feodalisme spiritual. Bukan dalam arti penindasan fisik, tapi dominasi batin yang lahir dari keyakinan. Ketika segala keputusan dianggap sakral dan tak bisa dikritik, pesantren bisa berubah menjadi ruang tanpa oposisi. Relasi kuasa menjadi halus tapi mengikat, hingga batas antara adab dan kepatuhan nyaris tak terlihat.
Kultus Individu dan Hilangnya Ruang Kritik
Bentuk penghormatan yang berlebihan seringkali melahirkan fenomena kultus individu. Sosok kiai dipandang bukan hanya sebagai pengajar, tapi juga figur suci yang tak boleh salah. Santri tidak lagi sekadar belajar ilmu, tapi juga memelihara ketakziman absolut. Dalam sistem seperti ini, kritik bisa dianggap kurang ajar, sementara diam menjadi standar moral.
Ketika murid tak punya ruang untuk bertanya, hubungan pendidikan bergeser menjadi relasi kuasa. Kiai berbicara, santri mendengar. Kiai menentukan, santri menjalankan. Situasi ini menciptakan ketergantungan psikologis yang kuat — bukan karena takut, melainkan karena kepercayaan yang terlalu dalam.
Sistem Keluarga dan Pewarisan Kekuasaan di Pesantren
Banyak pesantren dikelola secara personal atau berbasis keluarga. Warisan bukan hanya bangunan dan nama, tapi juga otoritas. Ketika kepemimpinan diteruskan berdasarkan garis keturunan, pesantren secara tidak langsung membangun sistem monarki kecil — di mana kekuasaan spiritual juga menjadi kekuasaan administratif.
Dari sinilah tuduhan feodalisme pendidikan menemukan konteksnya. Bukan karena pesantren bermaksud membangun kekuasaan, tapi karena sistemnya tidak menyediakan mekanisme koreksi. Keputusan besar tetap bergantung pada satu figur. Dan di dalam sistem yang menuhankan adab, siapa pun yang mempertanyakan akan terlihat seperti durhaka.
Ketimpangan Halus di Kalangan Santri
Selain hierarki vertikal antara kiai dan santri, ada lapisan sosial yang lebih lembut tapi terasa: santri yang dekat dengan kiai atau keluarganya sering mendapat posisi istimewa. Akses terhadap informasi, kepercayaan, dan tanggung jawab strategis biasanya diberikan pada mereka yang “dipercaya.”
Ini membentuk kelas sosial di dalam pesantren, walaupun dibungkus dengan istilah pengabdian. Kesetaraan menjadi relatif — bukan ditentukan oleh kemampuan, tapi kedekatan. Fenomena ini sering disebut sebagai stratifikasi sosial religius, di mana spiritualitas berkelindan dengan status simbolik.
Adab, Kebebasan, dan Tantangan Zaman
Dalam tradisi pesantren, adab selalu didahulukan sebelum ilmu. Tapi ketika adab berubah menjadi alat untuk menekan kebebasan berpikir, ia kehilangan makna aslinya. Tantangan pesantren hari ini adalah menjaga nilai hormat tanpa menutup ruang dialog. Karena sejatinya, adab bukanlah ketundukan buta, melainkan kesadaran untuk menghormati tanpa kehilangan nalar.
Modernisasi pendidikan tidak berarti meniadakan tradisi, melainkan menyeimbangkan dua kutub: kesopanan dan keberanian berpikir. Jika pesantren mampu menata ulang hubungan antara kiai dan santri dalam bingkai kesetaraan moral, bukan hanya otoritas, maka lembaga ini bisa menjadi model pendidikan ideal — bukan hanya bagi umat Islam, tapi bagi bangsa secara luas.
Refleksi Akhir: Cinta Ilmu Tanpa Kultus Kekuasaan
Pesantren memiliki peran penting dalam menjaga moral bangsa. Namun agar tetap relevan, sistemnya perlu membuka ruang refleksi. Karena kekuasaan yang tidak dikritik akan tumbuh liar, dan penghormatan yang tidak terukur akan berubah menjadi penjara nalar.
Hubungan kiai dan santri bisa tetap sakral tanpa harus hierarkis. Cinta ilmu tidak perlu ditukar dengan ketakutan, dan ketaatan tidak harus menghapus kemampuan berpikir.






