Framing Media Sosial: Ketika Opini Publik Dibentuk dalam Hitungan Detik

Edukasi17 Views

Salah satu hal menarik dari kasus Willy Salim Palembang adalah bagaimana sebuah potongan video mampu menciptakan persepsi kolektif. Padahal, tidak ada bukti visual jelas siapa yang mengambil makanan.

Framing Media Sosial: Bagaimana Narasi Dibalik

Yang ditonjolkan hanyalah ekspresi kecewa Willy Salim dan fakta bahwa makanan habis. Dari situ, publik terlanjur menyimpulkan: warga Palembang lah yang salah. Fenomena ini adalah contoh nyata efek framing opini publik di era viral.

Impression Management dan Power Influencer

Menariknya, Willy Salim sendiri tidak pernah secara eksplisit menuduh siapa pun. Namun sebagai seorang influencer dengan citra “dermawan” dan jutaan pengikut, ekspresi kecewanya sudah dianggap sebagai kebenaran. Inilah yang disebut impression management: publik mengisi celah narasi hanya dari mimik dan cara video dikemas. Lagi-lagi, framing lebih kuat dari fakta.

Confirmation Bias: Netizen Hanya Percaya yang Sesuai Asumsi

Ketika video pendek viral, confirmation bias netizen bekerja. Mereka yang sejak awal percaya stereotipe “masyarakat berebut makanan” langsung menerima narasi itu tanpa klarifikasi. Bukti tambahan atau penjelasan lain nyaris tidak diperhatikan, karena bagi mereka potongan video sudah “cukup jadi bukti”. Ini menunjukkan betapa bias kognitif memperkuat framing media sosial.

Scapegoating: Warga Palembang Jadi Kambing Hitam

Fenomena ini menggambarkan scapegoating effect: mencari pihak yang paling mudah disalahkan. Alih-alih mempertanyakan koordinasi panitia, distribusi yang buruk, atau kesalahan teknis, netizen lebih mudah melabeli masyarakat Palembang sebagai rakus. Padahal masalah semacam ini bisa terjadi di kota mana pun jika acara kurang terorganisir.

Algoritma Media Sosial: Penguat Persepsi Tunggal

Sekali narasi terbentuk, algoritma memperbesar efeknya. Konten pro-framing akan memenuhi beranda netizen yang sudah percaya pada cerita itu. Mereka terus dibanjiri komentar serupa sehingga keyakinannya makin kokoh. Algoritma inilah yang menjadikan stigma masyarakat karena viral di media sosial seolah-olah absolut dan sulit dipatahkan, meski bukti faktual lemah atau tidak lengkap.

Pertanyaan yang Hilang dalam Narasi

Yang luput dipertanyakan publik:

  • Apakah ada miskomunikasi teknis soal distribusi?
  • Benarkah tim penyelenggara kurang persiapan?
  • Mengapa tidak terdokumentasi jelas siapa yang mengambil makanan?

Sayangnya, narasi telanjur terbentuk. Publik tidak sempat menganalisis kompleksitas ini karena framing awal sudah menciptakan citra tunggal.

Pelajaran dari Kasus Viral

Kasus Willy Salim di Palembang memberi pelajaran besar: di era digital, satu framing bisa mencoreng nama sebuah komunitas. Warga yang tidak ada di lokasi pun ikut kena stigma. Influencer dengan jutaan penonton pada dasarnya adalah pemimpin opini. Satu gestur sederhana bisa menggeser persepsi publik luas.

Hati-Hati Mengonsumsi Narasi Viral

Efek framing opini publik di era viral menegaskan bahwa masyarakat perlu lebih kritis saat menelan informasi. Klarifikasi sering kalah cepat dibanding video pertama yang viral. Dan akibatnya, satu kota, satu kelompok, bahkan satu identitas bisa kena stigma hanya dari potongan ekspresi.

Di dunia yang makin cepat bergerak, literasi media dan kesadaran soal framing sosial sangat penting. Tanpa itu, kita semua bisa jadi korban narasi, sama seperti warga Palembang yang tiba-tiba dilabeli negatif oleh satu video singkat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *