Ketika Fandom Jadi Terlalu Serius: Dari Anime Sampai Alpha Male

Edukasi19 Views

Pernah nggak sih nemu temen yang tiba-tiba ngomongin hidup kayak dia habis ngobrol langsung sama Tuhan? Lagi belajar buat ujian, dia masuk ruangan terus mulai ngoceh soal gimana ujian itu cuma buang-buang waktu, sistem pendidikan rusak, dan katanya kita semua hidup di Matrix. Terus saran dia? “Udah lah, ke gym, cari duit, bangun hidup lo.” Padahal cuma disuruh bantuin ngerjain soal.

Ini tipikal penggemar “alpha male” banget. Apalagi yang ngidolain Andrew Tate seakan dia nabi laki-laki sejati. Emang sih, ada beberapa nasihatnya yang masuk akal soal kerja keras atau jadi versi terbaik dari diri sendiri. Tapi banyak banget yang bawa-bawa ajarannya kayak misi suci. Nggak jarang juga mereka sok nyadarin orang lain tanpa diminta.

Tapi nggak cuma itu, ada juga yang gandrung sama “sigma male” vibes—idolain karakter-karakter gelap kayak Joker, Tyler Durden, atau Patrick Bateman. Mereka kayak pengen banget punya momen “villain arc” cuma gara-gara ditolak gebetan atau habis dimarahin bos. Ending-nya? Posting foto hitam putih sambil caption sedih, terus lanjut kerja kantoran kayak biasa.

Masuk ke ranah musik, fanbase rapper juga nggak kalah heboh. Awalnya seru sih, kayak adikmu yang baru nemu rapper favorit, terus gayanya ikut-ikutan. Tapi lama-lama bisa jadi serem. Mereka bisa maki-maki orang yang ngatain idolanya, seakan si rapper itu dewa. Atau fans Nicki Minaj yang sempat ngancam jurnalis cuma karena kritik kecil.

Beranjak ke dunia K-Pop—nah ini levelnya beda lagi. Satu komentar negatif aja bisa bikin kamu dihujani spam dari fans Army atau Blinks. Belum lagi kalau idolanya ketahuan pacaran. Padahal mereka cuma duduk bareng, bro.

Di sisi lain, fans kartun pun ternyata bisa meledak-ledak. Ada yang marah gara-gara karakter ayah di “Bluey” memutuskan diet karena merasa kegemukan. Dituduh ngajarin body shaming ke anak-anak. Dan jangan lupakan tragedi saus Szechuan gara-gara fans Rick and Morty yang ngamuk di McDonald’s cuma karena saus edisi terbatas nggak tersedia.

Ngomongin soal fanbase ekstrem, nggak bisa dilewatkan para penggemar e-girl. Ada yang saking cintanya sampai beli air bekas mandi idola. Serius. Ada juga yang transfer puluhan ribu dolar cuma buat disapa di live stream. Nggak jarang mereka nganggep si streamer ini sebagai pacar virtual. Padahal ya, disapa aja belum tentu.

Lanjut ke dunia game. Minecraft? Sonic? Roblox? Semuanya punya drama masing-masing. Di Sonic fandom, misalnya, perdebatan soal karakter siapa yang paling keren bisa jadi adu argumen panjang kayak sidang DPR. Ada juga yang rela keluar uang jutaan buat beli topi virtual di Roblox, padahal rumah sendiri belum lunas.

Anime fandom juga nggak kalah unik. Ada yang bilang pacarnya cantik, baik, dan perhatian… ternyata yang dimaksud poster karakter anime di dinding kamarnya. Beberapa bahkan menikah sama bantal karakter favorit. Nggak main-main.

Kalau udah ngomongin fandom pembunuh—wah, ini level disturbing. Cameron Herrin, pembalap liar yang menyebabkan kematian ibu dan bayinya, malah punya fans yang bela dia karena “terlalu tampan buat masuk penjara”. Bahkan ada yang ngedit videonya kayak boyband. Padahal mereka kriminal berat.

Intinya sih, suka sama sesuatu itu wajar banget. Tapi ketika kekaguman berubah jadi obsesi, bahkan sampai ganggu hidup orang lain atau jadi toxic ke diri sendiri, saatnya tarik rem. Nggak semua fandom harus dijalani kayak agama. Kadang cukup nikmatin aja, tanpa drama.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *