Masalahnya, gaji UMR yang sekarang ini sebenarnya lebih cocok disebut sebagai angka minimum buat nggak kelaparan.
Padahal kalau dipikir-pikir, hidup di kota besar itu butuh biaya ekstra buat hal-hal yang kadang dianggap “tambahan” tapi sebenarnya penting. Misalnya pulsa, internet, transportasi, sampai biaya pendidikan informal. Semua itu harus dibayar dari gaji yang sama, yang kadang bahkan belum cukup buat bayar kos layak.
Di Jakarta atau kota besar lainnya, harga kontrakan bisa ngabisin 30% sampai 50% dari penghasilan. Belum termasuk makan, bayar listrik, atau kebutuhan lain yang terus naik setiap tahun. Rumah subsidi? Kelihatannya jadi solusi, tapi banyak yang letaknya jauh dari pusat kota, akses transportasi minim, dan kualitas bangunan pun dipertanyakan.
Yang lebih berat lagi, banyak pekerja bukan cuma tanggung hidup sendiri. Banyak yang masih harus bantuin keluarga di kampung, kirim uang buat orang tua, adik sekolah, atau biaya berobat kerabat. Ini bukan soal pelit atau nggak mau berbagi, tapi karena realitanya memang nggak ada ruang lebih dalam keuangan.
Ngomongin kerjaan, sistem kontrak pendek juga bikin situasi makin rumit. Banyak pekerja di sektor informal kayak retail atau pabrik cuma dapat kontrak 6 bulan sampai setahun. Setelah itu? Belum tentu diperpanjang. Nggak ada jaminan kesehatan, cuti, atau pesangon. Hidup jadi penuh ketidakpastian.
Lucunya, tiap tahun UMR memang naik, tapi kenaikan itu nggak pernah bisa ngalahin inflasi. Harga beras, minyak, gas, dan transportasi bisa naik dua digit persen. Tapi UMR cuma naik 4–6%. Akhirnya daya beli terus merosot dan makin susah buat sekadar memenuhi kebutuhan dasar.
Ada juga yang bilang, UMR itu udah cukup kok buat hidup. Tapi coba deh lihat kenyataannya, banyak pekerja yang tetap harus ngutang buat nutup kekurangan tiap bulan. Bahkan buat yang tinggal di kota-kota berkembang, kondisinya nggak jauh beda. Harga terus naik, sementara penghasilan tetap stagnan.
Masalahnya bukan cuma angka gaji. Ada ketimpangan struktural dalam penentuan UMR itu sendiri. Sayangnya, kompromi yang diambil lebih sering berpihak ke pengusaha karena alasan menjaga iklim investasi. Alhasil, UMR jadi alat penahan tuntutan, bukan sebagai jalan menuju hidup yang lebih baik.
Yang bikin sedih, kerja keras kadang nggak sebanding dengan pengakuan. Nggak ada jaminan naik pangkat, nggak ada peluang buat berkembang.
Akhirnya, banyak orang hidup dalam tekanan. Bukan cuma soal uang, tapi juga tekanan emosional karena harus memenuhi ekspektasi keluarga. Kamu pengin punya waktu buat diri sendiri, tapi rasa tanggung jawab bikin kamu terus mengutamakan orang lain. Ini menciptakan ketidakadilan yang bikin kamu nggak punya ruang buat tumbuh secara pribadi.
Yang paling bikin miris, banyak dari kita akhirnya cuma bertahan, bukan hidup. Kita kerja buat bisa makan dan bayar kos, bukan buat nabung atau beli rumah. Mimpi punya rumah sendiri, investasi masa depan, atau bahkan liburan sederhana jadi terasa terlalu jauh. Semua energi habis buat kejar hidup yang bahkan nggak pernah cukup dari awal.
Kalau dibilang solusinya cuma naikin UMR, ya belum tentu juga beres. Masalahnya kompleks. Mulai dari sistem kerja, biaya hidup, sampai akses ke fasilitas dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Perlu ada pembenahan menyeluruh kalau memang ingin menciptakan sistem yang adil.
Karena gaji seharusnya bukan cuma buat bertahan hidup, tapi juga buat menjalani hidup dengan layak. Sayangnya, buat sebagian besar orang di Indonesia, terutama yang tinggal di kota besar, hidup layak masih sebatas harapan—bukan kenyataan.