Pernah nggak sih, ketemu orang yang hobi banget nge-judge profesi orang lain? Entah karena seragamnya, tempat kerjanya, atau cuma karena penghasilannya dianggap “kurang keren”. Fenomena kayak gini ternyata lumayan kompleks, dan bukan cuma soal iri atau iseng aja.
Salah satu penyebab utamanya adalah mentalitas membandingkan. Di Indonesia, sejak kecil banyak orang tumbuh di lingkungan yang ngajarin kompetisi secara nggak sehat. Mulai dari nilai rapor, universitas, sampai kerja di mana—semua dijadiin bahan perbandingan. Jadi begitu masuk dunia kerja, kebiasaan ini terus kebawa. Kerja itu jadi ajang buat pamer, bukan lagi soal kontribusi atau kebahagiaan pribadi.
Nah, makin parah lagi karena ada yang namanya projection. Ini tuh kondisi di mana orang justru nyindir atau ngeledek profesi orang lain supaya bisa nutupin rasa gagal yang ada dalam dirinya. Misalnya, ada yang nggak puas sama hidupnya, tapi daripada ngakuin dan cari solusi, dia malah nyari “korban” buat dijatuhin. Biar ngerasa lebih baik, padahal aslinya makin keropos di dalam.
Jadi sebenarnya, banyak yang suka merendahkan bukan karena mereka beneran lebih baik, tapi karena mereka sendiri ngerasa enggak aman dengan hidupnya. Ironis, kan?
Label juga punya peran besar dalam memperkeruh situasi ini. Ada penjual kaki lima yang penghasilannya lebih besar dari karyawan kantoran, tapi tetap aja sering dipandang sebelah mata. Stereotip udah kadung melekat: profesi keren = sukses, pekerjaan biasa = gagal. Padahal kenyataannya enggak sesederhana itu.
Masalahnya, label itu enggak cuma nempel dari luar. Kadang malah masuk ke kepala orang yang punya profesi itu. Jadi, walau dia kerja keras dan punya penghasilan cukup, tetap aja ngerasa rendah diri karena persepsi orang sekitar. Dan akhirnya, banyak yang malah pilih karier bukan karena minat, tapi demi ngehindarin cap negatif dari masyarakat.
Jangan lupa juga soal fundamental attribution error. Ini kebiasaan orang buat nilai hidup orang lain cuma dari satu aspek, tanpa mikirin latar belakang atau kondisi eksternal. Misalnya, ada tukang ojek online, langsung dibilang malas sekolah. Padahal bisa jadi dia lulusan sarjana yang lagi bantu keluarganya karena kerja formal susah didapet. Tapi masyarakat lebih senang mikir simpel—nggak ribet, asal bisa ngecap.
Kebiasaan kayak gitu ngebentuk struktur sosial yang rapuh banget. Bukan makin solid, malah penuh ilusi dan gengsi. Orang jadi sibuk ngejar pengakuan sosial ketimbang nyari makna hidup yang sebenarnya. Profesi apa pun akhirnya cuma dianggap sebagai topeng buat kelihatan “berkelas”.
Dan ya, kasta sosial modern juga makin kuat karena pekerjaan dianggap lambang kesuksesan. Pekerjaan yang kelihatan keren otomatis dihargai lebih tinggi. Sementara profesi yang dianggap “biasa aja” sering diperlakukan seolah nggak punya nilai. Padahal bisa aja, dari segi dampak dan dedikasi, justru lebih hebat. Kalau terus-terusan kayak gini, masyarakat bakal makin sulit menghargai keragaman pilihan hidup.
Padahal, semua profesi punya makna. Entah itu dokter, tukang parkir, penulis, atau pedagang. Yang penting bukan labelnya, tapi bagaimana mereka menjalaninya dengan jujur dan bertanggung jawab. Karena pada akhirnya, semua orang cuma ingin bertahan hidup dan memberi arti buat orang-orang di sekitarnya.
Jadi, kalau suatu hari ketemu orang yang sibuk merendahkan pekerjaan orang lain, mungkin yang sebenarnya terjadi: dia lagi sibuk menyembunyikan kekhawatirannya sendiri.