Punya rumah itu memang cita-cita banyak orang, tapi kadang jadi bumerang juga. Masalahnya bukan cuma di harga rumah yang makin nggak masuk akal, tapi juga karena banyak orang ambil keputusan berdasarkan tekanan sosial, bukan kebutuhan.
Padahal, kalau dipikir-pikir lagi, beli rumah—terutama lewat KPR—itu bukan keputusan ringan. Tapi entah kenapa, banyak yang nekat ambil KPR tanpa perhitungan matang. Alasannya? Biar kelihatan mapan. Biar nggak diremehkan keluarga atau pasangan. Ujung-ujungnya, malah hidup dalam tekanan cicilan yang nggak ada habisnya.
Lucunya, banyak yang langsung tanda tangan KPR cuma karena bisa bayar DP dan cicilan awal. Nggak ngerti detail bunga floating, biaya tambahan, atau skema pembayaran jangka panjang. Yang penting kelihatan punya rumah, walau cicilannya setara setengah gaji. Bahkan ada yang sampai ngambil pinjaman lain buat nutupin uang muka.
Kalau dipikir, semua ini berawal dari standar sosial yang udah mendarah daging. Harus punya rumah dulu sebelum nikah. Harus punya properti biar bisa dianggap “serius.” Padahal realita finansial tiap orang beda-beda. Tapi tekanan sosial tetap sama, nggak ada ruang kompromi.
Bukannya fokus bangun rumah tangga, malah sibuk bayar cicilan. Belum lagi kalau ada anak, biaya kesehatan, atau kebutuhan lain yang tiba-tiba muncul. Masalah-masalah itu sering jadi sumber konflik dalam pernikahan, padahal sebenarnya bisa dihindari kalau ambil keputusan yang lebih rasional.
Ada juga yang lupa mikirin risiko jangka panjang. Ekonomi itu fluktuatif. Pendapatan hari ini bisa aja nggak relevan lima tahun ke depan. Bisa aja kena PHK, bisnis bangkrut, atau ada kebutuhan mendesak. Tapi cicilan tetap harus jalan. Dan kalau udah kejebak KPR, rasanya susah banget buat keluar tanpa kehilangan banyak hal.
Yang bikin makin ironis, banyak orang juga nggak ngerti bahwa cicilan itu bukan cuma bayar rumah. Semua itu diam-diam menambah beban.
Sebenarnya, KPR bukanlah sesuatu yang salah. Tapi kalau nggak ngerti sistemnya, kita cuma lagi bayar utang jangka panjang tanpa paham konsekuensinya. Ujungnya, hidup jadi penuh tekanan, dan kita terjebak dalam pola kerja keras tanpa kenikmatan hidup yang layak.
Ada juga sisi emosional yang sering dilupakan. Karena terbebani cicilan, banyak orang harus rela potong pengeluaran lain: liburan dikurangin, makan di luar ditahan, beli barang penting ditunda. Hidup jadi terasa sempit. Dan lebih parahnya lagi, kebahagiaan yang harusnya bisa didapat dari penghasilan, malah habis buat nutup kewajiban finansial.
Di kota besar, gaji UMR aja sering nggak cukup buat hidup nyaman. Jadi, kalau sekarang ngerasa capek, stuck, dan terus diburu cicilan, itu wajar. Banyak orang juga ngalamin hal yang sama. Bukan karena salah pilih jalan, tapi karena sistemnya emang berat dan penuh tekanan.
Intinya, jangan sampai ambil KPR cuma karena takut dibilang belum sukses. Rumah bukan trofi. Dan hidup bukan kompetisi. Kalau memang belum siap, nggak usah dipaksain. Lebih baik fokus bangun kestabilan finansial dulu. Soalnya, punya rumah tapi stres terus juga nggak ada artinya.