Anehnya, hal kayak gini sering dianggap sebagai bentuk loyalitas atau bukti semangat kerja. Padahal kalau dipikir lebih dalam, ini semacam pemerasan yang dibungkus rapi dengan kata-kata keren kayak profesionalisme dan dedikasi.
Masalahnya bukan cuma jam kerja yang panjang. Ini tentang sistem yang dari awal emang dirancang biar karyawan tetap nurut dan nggak banyak nanya. Banyak kantor yang udah nge-set budaya pasrah sejak tahap tanda tangan kontrak. Kontrak itu kadang cuma formalitas doang. Ditandatangani tanpa sempat baca, apalagi nego. Kalau nanya-nanya terlalu banyak, kesannya malah kayak nggak niat kerja.
Kalimat-kalimat abu-abu dalam kontrak juga jadi jebakan. Misalnya, “kerja berdasarkan target, bukan waktu.” Kedengerannya fleksibel, padahal ujung-ujungnya bisa bikin jam kerja makin kacau. Fleksibel yang dimaksud ternyata artinya bisa disuruh kerja kapan aja, sampai malam, dan tetep digaji kayak kerja biasa.
Buat anak-anak muda yang baru mulai kerja, ini bener-bener jadi tekanan. Mereka datang dengan semangat tinggi, tapi malah dikasih sistem yang ngeres otot dan mental. Gaji pas-pasan, kerjaan numpuk, tapi dianggap normal. Bahkan sering kali mereka nggak dikasih salinan kontraknya sendiri. Ini udah jadi cerita umum, apalagi di sektor yang pakai sistem outsourcing atau kontrak jangka pendek.
Parahnya lagi, kalau ada yang berani buka suara soal lembur atau hak-hak kerja lainnya, langsung dicap negatif. Dibilang nggak loyal, kurang mental kerja, atau bahkan dianggap pembangkang. Padahal cuma nanya, “Lembur ini ada kompensasinya nggak?” Tapi responsnya bisa sekeras itu.
Tekanan sosial di tempat kerja kadang jauh lebih berat daripada tekanan dari atasan. Rekan kerja yang udah lebih lama di kantor sering kali jadi “penjaga budaya diam.” Mereka udah terlalu terbiasa nurut dan akhirnya nyuruh yang baru buat ikut-ikutan. Akhirnya, semua tahu ada yang salah, tapi nggak ada yang berani ngomong duluan.
Semua ini makin rumit karena kondisi ekonomi juga nggak berpihak. Biaya hidup naik terus, tapi gaji jalan di tempat. Pekerja nggak punya banyak pilihan. Mau protes, takut dicap “susah diatur.” Mau pindah kerja, belum tentu ada lowongan. Dan kalau jadi tulang punggung keluarga, makin sulit buat ambil risiko.
Perusahaan tahu hal ini, dan mereka manfaatin itu. Mereka sadar karyawan bakal nurut karena nggak mau kehilangan pekerjaan. Jadi sistem yang eksploitatif terus dijalankan tanpa takut dibongkar. Apalagi kalau lembur itu nggak pernah diakui secara resmi. Nggak ada tambahan gaji, nggak ada ucapan terima kasih, kadang bahkan nggak diakui bahwa itu lembur.
Efek dari semua ini nggak cuma fisik. Secara mental juga kena. Bayangin kerja lebih dari 10 jam per hari, tiap hari, tanpa ruang buat istirahat yang bener. Burnout jadi hal biasa. Fokus berkurang, emosi labil, gampang sakit, dan relasi sosial jadi renggang. Tapi tetap dianggap sebagai “konsekuensi dari kerja keras.”
Ironisnya, perusahaan sering cuci tangan. Kalau ada yang sakit, burnout, atau stres berat, itu dianggap masalah pribadi. Biaya berobat ditanggung sendiri. Padahal tenaga dan waktu udah diambil sebanyak-banyaknya.
Loyalitas pun akhirnya jadi kata yang dipelintir. Yang dianggap loyal bukan yang kerja dengan integritas, tapi yang nggak banyak nanya. Yang kerja sampai malam tanpa protes, yang tetap datang meski sakit, yang nggak pernah ngomongin hak-haknya sendiri.
Ini masalah sistemik yang udah berlangsung lama. Ada relasi kekuasaan yang nggak seimbang antara atasan dan bawahan. Dan selama rasa takut untuk ngomong masih dipelihara, eksploitasi akan terus terjadi.
Seluruh elemen—perusahaan, pemerintah, bahkan masyarakat—seolah kompak pura-pura nggak tahu. Seakan-akan ini semua harga wajar yang harus dibayar demi tetap bisa kerja. Tapi pertanyaannya, sampai kapan kita terus mikir bahwa ini hal normal?