Di tengah kesibukan hidup dan tekanan ekonomi yang makin terasa, tawaran uang instan sering jadi jalan keluar paling gampang. Apalagi kalau prosesnya simpel: tinggal scan mata, dapat token kripto gratis. Tapi, pernah nggak sih mikir sebenarnya apa yang dikorbankan?
Yang mereka tahu, ada alat bundar, petugas yang kelihatan resmi, dan ada duit. Udah. Selesai. Ini soal iris mata—identitas biologis yang nggak bisa diganti seumur hidup.
Masalahnya bukan cuma di tingkat individu. Meski ada Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, implementasinya masih jauh dari ideal. Nggak ada pengawasan yang kuat, edukasi pun minim. Akibatnya? Masyarakat mudah ditarik dengan janji hadiah kecil, tanpa tahu bahwa data mereka bisa dimanfaatkan buat hal-hal yang jauh lebih besar dan sensitif.
Coba bayangin: iris mata yang disimpan di server perusahaan asing, bisa dipakai buat ngembangin AI, sistem keamanan, sampai model prediktif yang super canggih. Sementara itu, orang yang datanya diambil cuma dapat token yang mungkin habis dalam sehari. Ketimpangan nilai ini bikin miris.
Bukan rahasia lagi kalau perusahaan besar tahu banget gimana caranya memanfaatkan kondisi masyarakat. Mereka paham bahwa di negara dengan pendidikan rendah dan tekanan ekonomi tinggi, satu iming-iming kecil bisa jadi senjata ampuh. Masyarakat nggak diajarin buat mikir jangka panjang. Jadi, ketika dihadapkan dengan pilihan antara uang langsung atau risiko abstrak soal data, pilihannya hampir selalu uang.
Fenomena Worldcoin di Indonesia jadi contoh nyata. Ribuan orang rela antre buat scan iris mata mereka. Sebagian mungkin sadar risikonya, tapi kondisi hidup yang makin berat bikin semuanya terlihat layak dicoba. Di balik tawaran yang terlihat sederhana, ada sistem besar yang bekerja dengan sangat rapi dan diam-diam.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, dalam sistem ini, pengguna bukan lagi dianggap partner atau pemilik data. Mereka cuma jadi objek. Bahkan, banyak dari mereka nggak ngerti apa itu data biometrik. Nggak ngerti disimpan di mana, dipakai buat apa, atau siapa aja yang punya akses. Kesadaran itu nggak pernah ditanamkan.
Jadi, ini bukan sekadar soal edukasi digital yang rendah, tapi soal sistem yang selama ini gagal ngasih bekal buat warganya. Banyak yang tumbuh di ekosistem digital tapi nggak tahu bahwa data diri mereka itu bernilai tinggi. Akibatnya, banyak yang gampang percaya karena semua kelihatan legal—ada petugas, ada tanda tangan, ada uang.
Dan ketika kesenjangan pemahaman terjadi, relasi antara masyarakat dan korporasi jadi timpang banget. Bayangin kalau suatu hari data biometrik itu bocor atau dipakai buat sesuatu yang merugikan. Mau ngelapor? Mau protes? Ke mana? Siapa yang tanggung jawab?
Masalah ini bukan cuma terjadi di Indonesia. Banyak negara berkembang punya cerita serupa. Regulasi belum siap, tapi teknologi jalan terus. Sementara masyarakatnya belum sempat belajar, mereka udah ditawari “kesempatan” yang kelihatannya menguntungkan. Tapi di balik semua itu, yang sebenarnya terjadi adalah eksploitasi data dalam skala besar.
Gampang dapat masa, gampang dapat persetujuan, dan gampang banget ambil data dari orang yang bahkan nggak sadar dirinya lagi ditambang. Ironis, kan?
Dan jangan salah, saat data biometrik sudah dikumpulkan, semua bisa jadi legal. Karena orang-orang pernah “setuju”, walau mereka nggak benar-benar ngerti apa yang disetujui. Ini realita yang menakutkan, bukan cuma buat individu, tapi juga untuk ekosistem digital negara secara keseluruhan.
Fenomena ini jelas bukan teori konspirasi. Ini adalah hasil dari ketimpangan struktural yang udah lama dibiarkan. Ketika tekanan ekonomi bertemu dengan kurangnya edukasi, hasilnya adalah masyarakat yang mudah dimanipulasi dengan janji-janji instan.
Kita nggak bisa terus-terusan nyalahin individu yang tergoda uang cepat. Mereka cuma ambil opsi terbaik dari pilihan yang sempit. Tapi negara punya tanggung jawab buat ngasih perlindungan dan pemahaman. Tanpa itu, kita bukan lagi masyarakat digital, tapi ladang data yang siap dipanen kapan aja oleh siapa aja.