Pernah nggak kepikiran kalau jadi petani itu sebenarnya bisa jadi profesi keren? Sayangnya, banyak anak muda dari desa yang nggak ngelihatnya seperti itu. Mereka merasa harus pindah ke kota, kerja kantoran, pakai baju rapi, dan duduk di depan komputer buat dianggap sukses. Padahal, ada hal besar yang bisa digarap dari dunia pertanian kalau cara pandangnya diubah.
Coba bayangin, tiap musim tanam, seorang petani harus mikir mulai dari beli benih, pupuk, sampai bayar tenaga kerja. Modal awalnya enggak sedikit. Belum lagi kalau hasil panen dihajar hama atau harga jual anjlok karena rantai distribusi yang panjang banget. Akhirnya, mereka cuma dapat sisa keuntungan. Enggak heran kalau banyak yang merasa bertani itu bukan pilihan yang realistis.
Tapi, tunggu dulu. Cerita soal petani enggak selalu suram. Mereka mulai manfaatin teknologi, jual hasil panen langsung ke konsumen lewat e-commerce, dan pakai skema langganan. Pendapatan meningkat, kerja lebih efisien, dan mereka bangga sama profesinya.
Masalah utamanya sebenarnya ada di sistem dan cara pandang. Sekolah jarang banget ngasih ruang buat bangga jadi petani. Cita-cita yang ditanamkan selalu tentang jadi dokter, insinyur, atau kerja di gedung tinggi. Nggak banyak yang bilang, “Ayo jadi petani sukses!” Padahal, petani zaman sekarang butuh skill manajemen, pemahaman teknologi, sampai strategi pemasaran. Mereka bukan cuma kerja fisik di sawah, tapi juga mikirin banyak hal kayak seorang pengusaha.
Tekanan sosial juga berperan besar. Dari kecil, banyak anak di desa yang udah dikasih tahu kalau mau sukses, harus sekolah tinggi dan pindah ke kota. Kota dianggap punya segalanya: pendidikan, kerja bagus, gaya hidup modern. Sementara desa? Cuma dianggap tempat yang enggak berkembang. Padahal, desa punya potensi luar biasa, terutama di sektor pangan dan pertanian.
Mirisnya lagi, banyak keluarga sendiri yang justru mendorong anak-anaknya ninggalin desa. Mereka lihat hidup sebagai petani itu berat dan penuh perjuangan, sementara hasilnya nggak seberapa. Apalagi kalau mereka sendiri pernah ngalamin pahitnya bertani tanpa dukungan sistem yang jelas. Akhirnya, bertani jadi profesi yang nggak diminati, bukan karena anak muda malas, tapi karena mereka enggak melihat harapan di sana.
Mereka datang dengan ide-ide segar, menggabungkan ilmu dari bangku kuliah dan pengalaman urban, lalu diterapkan di ladang. Bikin komunitas petani muda, bangun sistem penjualan langsung, bahkan ada yang pakai aplikasi buat atur jadwal tanam dan panen. Mereka buktiin kalau desa juga bisa punya masa depan yang cerah.
Selama ini, banyak yang salah kaprah. Petani selalu dikaitkan dengan kemiskinan. Padahal, realitanya nggak sesederhana itu. Ada yang jatuh karena sistem, tapi ada juga yang bangkit karena inovasi. Jadi, yang harus diperbaiki bukan petaninya, tapi sistem pendukungnya: pendidikan, akses teknologi, pasar yang adil, dan tentu saja, pengakuan sosial.
Kalau terus dibiarkan, Indonesia bisa krisis petani. Bukan cuma tenaga kerja di sektor pangan yang berkurang, tapi juga hilangnya koneksi manusia sama tanah tempatnya berpijak.
Mungkin udah waktunya kita rombak cara pandang tentang pertanian. Bukan lagi sesuatu yang “terpaksa dijalani”, tapi bisa jadi pilihan strategis. Anak-anak muda harus tahu bahwa bertani juga bisa jadi cara buat maju dan mandiri.