Ngontrak rumah bukan simbol kegagalan. Justru, buat banyak keluarga, ini adalah bentuk keberanian, rasionalitas, dan keputusan hidup yang penuh perhitungan. Tapi sayangnya, masyarakat kita masih sering menilai seseorang dari status kepemilikan rumah, bukan kualitas hidupnya. Artikel ini mengupas kenapa pilihan tinggal di rumah kontrakan masih dianggap ‘kelas dua’, serta bagaimana labeling, klasism, dan efek sosial lainnya ikut memperparah tekanan hidup sehari-hari.
Label Sosial yang Halus Tapi Menyakitkan
Begitu satu keluarga tinggal di rumah kontrakan, pelabelan sosial langsung bekerja diam-diam. Mungkin tanpa kata-kata kasar, tapi sangat terasa. Mereka dianggap warga sementara. Enggak diajak rapat RT, enggak ditanya soal pendapat lingkungan, bahkan kadang enggak dianggap ‘punya suara’. Ini bukan soal kesopanan, tapi struktur sosial yang sudah terbentuk rapi—dan menyakitkan. Dalam psikologi sosial, ini disebut labeling theory: perlakuan terhadap seseorang dibentuk oleh label yang ditempelin ke mereka, bukan dari siapa mereka sebenarnya.
Bukan Semua Tentang Uang: Kenapa Banyak Orang Memilih Ngontrak?
Mereka justru sadar: harga rumah yang makin tinggi, lokasi yang enggak strategis, dan cicilan puluhan tahun bisa jadi jebakan finansial. Mereka milih fleksibilitas—bisa pindah dekat sekolah anak, tempat kerja, atau fasilitas penting lainnya. Bahkan, banyak yang lebih memilih investasi lain atau menyimpan dana darurat daripada memaksakan beli rumah cuma demi status. Tapi tetap saja, semua logika itu seringkali dikalahkan oleh satu hal: asumsi sosial.
Ngontrak Bukan Sementara, Tapi Dianggap Numpang
Ada keluarga yang ngontrak di satu tempat lebih dari 10 tahun. Tapi tetap saja mereka enggak dianggap bagian dari komunitas. Seolah-olah keberadaan mereka bersifat “sementara”, padahal mereka membayar kewajiban dengan tertib dan hidup berdampingan dengan tenang. Tapi karena status mereka bukan pemilik, ruang sosial yang mereka dapatkan sangat terbatas. Inilah bentuk klasism di level komunitas: diskriminasi halus berdasarkan status sosial.
Sudut Pandang Psikologi Sosial: Mengapa Masyarakat Bersikap Begitu?
Fenomena ini bisa dijelaskan lewat teori simbolik interaksionisme. Dalam teori ini, rumah bukan hanya tempat tinggal, tapi simbol keberhasilan. Jadi, ketika seseorang belum punya rumah, langsung dianggap belum “jadi”. Dan ini bikin hidup orang-orang yang berbeda jadi lebih berat.
Mengapa Bahasan Ini Penting?
Ngontrak rumah adalah realitas bagi jutaan orang Indonesia. Tapi kenyataannya, pilihan ini masih sering diremehkan dan dicap sebagai bentuk kegagalan. Dan yang bikin miris, pilihan ini malah jadi sumber stigma dan tekanan sosial. Kita butuh bahas ini, supaya lebih banyak orang sadar bahwa hidup enggak cuma punya satu bentuk.
Ketimpangan Perlakuan di Lingkungan: Kenyataan atau Konstruksi Sosial?
Orang yang ngontrak rumah sering merasa enggak sepenuhnya diterima. Walau enggak ada larangan tertulis, banyak perlakuan berbeda yang mereka terima. Enggak diajak kumpul, enggak diminta pendapat, bahkan enggak dianggap bagian dari komunitas. Semua ini bikin keluarga kontrakan memilih untuk ‘menghilang’, jadi tidak terlihat dalam kehidupan sosial. Bukan karena enggak peduli, tapi karena tahu diri—karena mereka sadar mereka diposisikan sebagai “orang luar”.
Simbol Kesuksesan yang Terlalu Sempit
Dalam budaya kita, rumah sering jadi simbol utama kesuksesan. Mobil bisa disewa, isi rumah bisa dicicil, tapi rumah adalah ‘puncak pencapaian’. Dan ketika seseorang belum sampai ke titik itu, mereka langsung ditempatkan di bawah. Semua pencapaian lainnya seolah enggak dianggap. Mau sebaik apapun pendidikan anak, seaman apapun kondisi finansial, tetap kalah sama fakta bahwa mereka belum punya rumah sendiri. Inilah narasi yang berbahaya karena menyempitkan definisi sukses jadi cuma satu jalur saja.
Penutup yang Mengajak Renungan
Selama masyarakat masih percaya bahwa rumah adalah satu-satunya bukti kesuksesan, akan terus ada kelompok yang merasa salah langkah hanya karena mereka memilih jalur hidup yang berbeda. Kita perlu belajar untuk enggak mengukur semua orang dengan standar yang sama. Yang terpenting bukan di mana tinggal, tapi bagaimana menjalani hidup dengan sadar dan bertanggung jawab.
Kalau kamu juga pernah mengalami hal serupa, atau punya pandangan berbeda, yuk bagikan ceritamu. Mungkin dengan mulai ngobrol, kita bisa pelan-pelan ubah cara pandang yang selama ini salah kaprah.






