Bayangin aja, kerja keras tiap hari dari pagi sampai malam, tapi bukan buat nabung atau upgrade hidup, melainkan cuma buat bayar cicilan rumah. Bahkan bukan cicilan satu dua tahun, tapi bisa sampai dua dekade. Ironisnya, rumah yang jadi simbol kesuksesan itu malah jadi beban berat yang bikin hidup makin sempit.
Masalah utama bukan di orangnya yang malas atau terlalu banyak ngeluh. Yang jadi akar dari persoalan ini adalah sistem perumahan yang sepenuhnya diserahkan ke pasar. Negara enggak lagi pegang peran penting buat menjamin warganya punya tempat tinggal yang layak.
Dan parahnya, banyak yang percaya kalau sudah punya rumah (meskipun masih nyicil), maka hidup otomatis dianggap mapan. Padahal, realitanya banyak yang isi dompetnya kosong, stres tiap bulan mikirin cicilan, bahkan nggak punya ruang buat gagal. Semua pilihan hidup dikunci sama satu hal: bisa bayar cicilan atau tidak.
Sistem ini bikin banyak orang akhirnya hidup kayak robot. Kerja terus-terusan hanya buat bayar satu tagihan. Mau ganti pekerjaan? Pikir-pikir dulu. Mau rehat karena burnout? Gak semudah itu. Mau mulai usaha? Tunda aja dulu. Semua harus difilter lewat pertanyaan: “Bulan depan bisa bayar cicilan enggak?”
Yang bikin miris, rumah itu dianggap aset besar yang bikin hidup aman. Tapi coba tanya: kalau ada kejadian darurat, seperti sakit, anak butuh biaya sekolah, atau tiba-tiba kena PHK, apakah rumah itu bisa bantu? Sayangnya, rumah KPR bukan aset yang gampang dicairkan. Mau dijual butuh proses panjang, harga kadang nggak sesuai, belum lagi biaya-biaya tambahan yang harus ditanggung.
KPR juga menyedot hampir seluruh penghasilan bulanan. Uang habis buat cicilan, sedangkan kebutuhan lain tetap harus dipenuhi: biaya sekolah, listrik, makan, sampai dana darurat. Akibatnya, dana darurat seringkali gak pernah kebentuk. Begitu ada masalah ekonomi kecil aja, kondisi langsung goyah. Keluarga bisa langsung terpuruk.
Lebih gila lagi, semua ini dibungkus dengan narasi bahwa punya rumah berarti sudah naik kelas. Kayak semacam validasi sosial. Rumahnya bagus, catnya rapi, ada pagar dan garasi, langsung dianggap bukan orang miskin. Padahal, di balik tembok-tembok itu, ada tekanan ekonomi yang nggak kelihatan dari luar. Ini yang disebut kemiskinan tersamar. Tapi realitanya, hidup mereka terjepit.
Yang paling nyakitin adalah fakta bahwa sistem ini sengaja dibentuk biar masyarakat terus terjebak dalam utang. KPR bukan solusi netral. Ia adalah instrumen ekonomi yang dibuat buat menguntungkan pengembang dan lembaga keuangan. Begitu tanda tangan akad, bukan cuma beli rumah—tapi juga “nyegel” hidup untuk puluhan tahun ke depan.
Bahkan, karena sudah terlalu sering dianggap hal wajar, orang yang ambil KPR malah dipuji. Dibilang visioner, mapan, mandiri. Padahal, banyak di antaranya yang cuma lagi menekan diri habis-habisan demi ngejar standar sosial yang katanya ideal. Semua ini bikin orang merasa harus kuat sendiri, gak boleh gagal, gak boleh sakit, gak boleh kehilangan pekerjaan.
Sayangnya, ini bukan cuma pengalaman satu dua orang. Ini udah jadi semacam norma yang bikin jutaan orang hidup dalam tekanan. Sistemnya rapi, dibungkus dengan label kemajuan, padahal isinya jebakan. Dan sistem suka banget dengan kondisi ini, karena orang yang sibuk mikirin cicilan gak akan sempat mikir kritis atau bahkan berani bermimpi.
Jadi, sebelum memutuskan ambil KPR, penting banget buat mikir dua kali. Jangan cuma karena takut dibilang gagal atau gak sukses. Tanyakan ke diri sendiri, ini benar-benar kemajuan atau cuma jebakan yang dipoles rapi? Karena ketika semua keputusan hidup harus lewat satu filter tunggal—cicilan—maka kebebasan untuk bermimpi pun ikut hilang.